Thursday, January 29, 2009

PENGAJARAN KOSA-KATA BAHASA INGGRIS DENGAN METODE TOTAL PHYSICAL RESPONSE: STUDI KASUS DI KELAS V SEKOLAH DASAR

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan salah satu instrumen utama yang digunakan umat manusia untuk menciptakan dunia sebagaimana adanya pada saat ini. Dengan bahasa, manusia dapat merekam dan mewariskan pengetahuan, keahlian, kepercayaan, dan semua unsur kebudayaan lainnya secara efektif. Perekaman dan pewarisan kebudayaan dari satu generasi kepada generasi berikutnya ini membuat manusia tidak perlu mengembangkan segala sesuatu mulai dari awal. Dengan demikian, bahasa membuat pengembangan kebudayaan dapat dilakukan secara berkesinambungan.
Disamping sebagai sarana untuk mewariskan kebudayaan, bahasa juga merupakan media komunikasi utama dalam kehidupan manusia. Meskipun komunikasi antar individu dalam masyarakat manusia dapat dilakukan dengan menggunakan media lain, seperti gerak-gerik dan sandi morse, hingga saat ini bahasa merupakan media yang paling efektif. Dengan bahasa, individu-individu maupun kelompok dari berbagai latar belakang budaya dapat berbagi dan mendiskusikan pemikiran, pengetahuan, maupun perasaan. Bahasa juga membuat kerjasama antar individu, kelompok dan bangsa dapat direalisasikan. Dapat dikatakan bahwa tanpa bahasa sirkulasi ide, pengetahuan, informasi, dan nilai-nilai antar bangsa akan mengalami hambatan.
Komunikasi antar individu maupun antar kelompok dengan berbagai latar belakang kebudayaan akan dapat belangsung dengan efektif bila semua pihak yang terlibat menguasai sebuah bahasa yang dikuasai bersama. Saat ini, bahasa yang telah ‘terpilih’ menjadi bahasa internasional utama adalah bahasa Inggris. Kondisi ini membuatnya menjadi bahasa yang paling penting untuk dikuasai, temasuk oleh bangsa Indonesia, baik untuk tujuan penyerapan dan pengembangan ilmu, teknologi dan seni budaya serta untuk membina hubungan dengan bangsa-bangsa lain di dunia (Murdibyono, 1996: 1). Konsekuensi logis dari fenomena ini adalah pentingnya bahasa Inggris bagi setiap individu yang ingin terlibat dalam pergaulan antar bangsa. Tanpa penguasaan bahasa Inggris, seseorang akan tersingkir dari setiap forum antar bangsa.
Menyadari betapa pentingnya kemahiran berbahasa Inggris bagi setiap individu, termasuk bagi para siswa Indonesia sebagai calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang, pembelajaran bahasa Inggris bagi anak Indonesia adalah tantangan yang harus direspon dengan upaya-upaya yang serius mengingat bahwa setiap pembelajaran bahasa merupakan pekerjaan yang rumit karena melibatkan banyak faktor, yang oleh Harmer (1991: 3-8) dibagi menjadi: motivasi, kondisi dan suasana tempat belajar, metode pengajaran, dan kompetensi guru.
Penelitian ini berhubungan dengan faktor ketiga di atas, yakni metode pengajaran, dengan fokus penggunaan total physical response (TPR) untuk mengajarkan kosa kata. Pemilihan TPR sebagai fokus penelitian dilatarbelakangi oleh kurang optimalnya hasil pengajaran kosa kata di beberapa sekolah dasar di Jakarta. Menurut pengalaman pribadi dan hasil pengamatan informal penulis, para pelajar di Indonesia sering mengalami kesulitan untuk mengungkapkan pikiran atau perasaan melalui bahasa Inggris karena keterbatasan kosa kata yang mereka miliki. Tidak sedikit siswa SMP hingga SMA yang menguasai tata-bahasa Inggris dengan baik, tapi tetap tidak dapat berkomunikasi karena keterbatasan kata-kata yang dimiliki. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran bahasa Inggris di SD yang berlangsung selama ini belum mampu membekali siswa dengan kosa kata yang memadai untuk memberdayakan siswa mencapai kompetensi sesuai dengan tujuan pembelajaran yang digariskan oleh Dinas Pendidikan Dasar (2007: 17), yaitu: kemampuan berkomunikasi lisan secara terbatas dalam konteks sekolah yang meliputi aspek-aspek mendengar, berbicara, membaca, dan menulis.
Esensi pengajaran kosa kata dalam setiap pembelajaran bahasa dapat ditinjau dari fakta bahwa disamping pelafalan, kaidah-kaidah, diskursus, dan empat kemahiran berbahasa (language skills), kosa kata merupakan elemen setiap bahasa yang harus dikuasai agar seseorang mampu berkomunikasi dengan efektif dalam bahasa itu (Harmer, 1991: 11-19). Dalam konteks pendidikan, kosa-kata berperan penting dalam penguasaan seluruh materi pelajaran. Hal ini tidak terlepas dari eratnya hubungan antara kosa-kata dan pemahaman karena setiap pesan (konsep atau ide) pasti diungkapkan dalam bentuk kata-kata.
Selain itu, dalam konteks komunikasi penguasaan kosa kata jauh lebih penting daripada penguasaan tata-bahasa. Cook (1981) menegaskan: “Whatever the function you're trying to express, whatever the grammatical structure you're trying to use, you won't get very far without the right vocabulary.” Jika seseorang kaya akan kosa-kata, meskipun tanpa pengetahuan grammar, dia masih dapat memahami dan dipahami. Sebagai contoh, untuk meminta makan kepada ibunya, seorang anak cukup mengatakan “Mommy, I hungry”, sambil mengelus-elus perutnya sendiri. Dengan kata lain, penguasaan kata-kata dalam jumlah besar akan membuat seseorang mampu menebak pesan yang disampaikan orang lain atau mengungkapkan pesan kepada orang lain.
Dalam pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing tradisional, pengajaran lebih diarahkan pada pengetahuan tata-bahasa. Pengajaran kosa kata baru mendapat perhatian menjelang akhir abad ke-20 (Hsu dan Chiu, 2008: 181). Dalam konteks pengajaran bahasa Inggris di Indonesia, berdasarkan pengamatan yang penulis lakukan, hingga saat ini pembelajaran kosa kata di kelas-kelas bahasa Inggris di SD sering dilakukan hanya sambil lalu atau tidak diberi perhatian sama sekali. Sebagian guru cenderung hanya sekedar menyuruh murid menghapalkan kata-kata bahasa Inggris beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Sebagian lagi bahkan berprinsip bahwa kosa kata siswa akan berkembang dengan sendirinya seiring dengan pertambahan wacana yang dibaca dan aktivitas pembelajaran yang dilakukan. Padahal, dalam konteks pembelajaran bahasa kedua/asing, salah satu tugas utama guru adalah membantu siswa menguasai kosa kata dalam jumlah yang mencukupi (Miller, 2007).
Terdapat berbagai kemungkinan mengapa pembelajaran kosa kata tidak diberikan perhatian yang memadai, seperti kurangnya pemahaman guru tentang esensi kosa kata, terbatasnya waktu yang dialokasikan bagi pelajaran bahasa Inggris, dan kurangnya keterampilan guru tentang metode pengajaran kosa kata yang efektif. Menurut penulis, kekurangtahuan guru tentang metode pengajaran kosa kata merupakan penyebab utama, karena cukup beragamnya metode pengajaran yang ditawarkan ilmu pengajaran bahasa (misalnya: metode terjemahan, pendekatan sugestipedia, metode silent way, metode TPR, pendekatan komunikatif, dan the natural approach), mungkin membuat guru ragu-agu untuk memilih metode yang tepat untuk mengajarkan kosa-kata.
Pemilihan metode Total Physical Response (TPR) dalam penelitian ini didasarkan pada pengakuan berbagai ahli dan praktisi pengajaran bahasa yang menyatakan bahwa TPR merupakan salah satu metode pengajaran bahasa yang sangat efektif. Sebagai contoh, berdasarkan analisis yang dilakukannya terhadap berbagai penelitian mengenai penerapan TPR, Carruthers (2006) menyimpulkan bahwa metode TPR sangat efektif digunakan dalam pengajaran bahasa kedua bagi anak-anak, dan dengan melakukan beberapa adaptasi, metode ini juga efektif dalam pengajaran bahasa kedua bagi orang dewasa. Krashen (1998) juga mengakui efektivitas TPR dengan mengatakan: “According to current theory, TPR works because it is an excellent way of providing students with comprehensible input; the teacher's movement provides the background knowledge that makes the command more comprehensible.” Jika metode ini memberikan hasil pembelajaran yang tinggi dalam pengajaran bahasa asing di berbagai tempat lain, besar kemungkinan TPR juga memberikan hasil yang sama dalam pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia. Sehubungan dengan itu, penulis bermaksud meneliti bagaimana metode TPR dilaksanakan dalam praktik pengajaran kosa kata bahasa Inggris di salah satu SD di Jakarta.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan paparan pada bagian latar-belakang masalah di atas, penulis mengindentifikasi masalah-masalah berikut:
1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kesulitan bagi siswa SD dalam mempelajari bahasa Inggris?
2. Metode pengajaran apakah yang paling sesuai digunakan untuk memperkaya kosa kata bahasa Inggris siswa di SD?
3. Mengapa Total Physical Response (TPR) belum digunakan secara intensif sebagai salah satu metode pembelajaran bahasa Inggris di tingkat SD?
4. Seberapa pentingkah pengajaran kosakata bahasa Inggris diterapkan di tingkat SD?
5. Bagaimana pengajaran kosakata bahasa Inggris dengan menggunakan metode Total Physical Response (TPR) dilaksanakan?
6. Apakah metode TPR dapat memberikan pengaruh yang signifikan dalam pembelajaran kosa kata di SD?

C. Pembatasan Masalah
Sehubungan dengan keterbatasan waktu, biaya, dan pengetahuan yang penulis miliki, dan agar penelitian lebih terfokus, masalah dalam penelitian ini dibatasi hanya pada prosedur pengajaran kosakata bahasa Inggris di kelas V SD X dengan menggunakan Total Physical Response Method (TPR).

D. Perumusan Masalah
Dari uraian pada bagian latar belakang, identifikasi, dan pembatasan masalah diatas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut; “Bagaimana pengajaran kosakata bahasa Inggris dengan menggunakan Total Physical Response (TPR) di SD dilaksanakan?”

E. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk hal-hal berikut:
1. Sebagai masukan bagi para guru bahasa Inggris di tingkat Sekolah Dasar dalam rangka meningkatkan metode pengajaran kosa-kata.
2. Meningkatkan minat dan prestasi siswa SD dalam mempelajari bahasa Inggris, khususnya kosa kata.
3. Menjadi salah satu landasan bagi penelitian lanjutan tentang TPR.

F. Definisi Operasional
Untuk mencegah perbedaan penafsiran terhadap konsep, ide, atau pemikiran berikut ini diberikan daftar definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini.
1. Bahasa pertama atau bahasa asal adalah bahasa Indonesia, sedangkan bahasa target atau bahasa asing adalah bahasa Inggris.
2. Metode pengajaran adalah teknik pengajaran tertentu yang dilandaskan pada teori-teori yang ditemukan melalui penelitian.
3. Kosa-kata adalah sekumpulan kata dari suatu bahasa yang dikuasai dan digunakan seseorang dalam berkomunikasi dengan sesamanya, baik secara lisan maupun tulisan.


BAB II
KAJIAN TEORETIK

Bab ini mencoba memaparkan konsepsi-konsepsi yang mendasari penelitian yang dilakukan. Pembahasan pada bagian awal difokuskan untuk membahas hakikat kosa kata, esensinya dalam sebuah program pembelajaran bahasa asing, dan pendekatan yang digunakan dalam mengajarkan kosa kata: pengajaran langsung dan pengajaran tidak langsung Bagian berikutnya membahas Total Physical Response (TPR), yang mencakup hakikat dan prosedur penggunaan TPR untuk mengajarkan kosa kata.

A. Hakikat Kosa Kata
Kosakata, yang dapat didefinisikan sebagai kumpulan kata dari suatu bahasa yang dikuasai dan digunakan dalam berkomunikasi—baik secara lisan maupun tulisan, merupakan salah satu elemen bahasa yang harus dikuasai seseorang agar dia mampu memahami pesan yang disampaikan kepadanya maupun menyampaikan pesan kepada lawan bicaranya. Kata adalah label dari pikiran, ide, atau perasaan yang dikomunikasikan melalui bahasa. Kata merupakan unit terkecil dari bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan makna. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris lisan, secara terpisah-pisah, /r/, /І/, dan /d/ merupakan bunyi-bunyi tidak bermakna, tapi bila ketiga bunyi itu diucapkan secara berurutan akan terbentuk kata kerja “read”, yang merujuk pada aktivitas yang dilakukan seseorang dalam rangka memahami isi ebuah teks. Dalam bahasa Inggris tertulis, simbol-simbol ‘s’, ‘a’, dan ‘y’ akan memiliki pengertian bagi seseorang bila dia mengetahui bahwa perpaduan ketiga simbol tersebut dengan urutan “say” merupakan kata yang merujuk pada aktivitas seseorang ketika dia berupaya mengungkapkan pikiran atau perasaannya melalui bahasa lisan.
Bersama dengan pelafalan, kaidah-kaidah, diskursus, dan empat kemahiran berbahasa (language skills), kosa kata merupakan unsur-unsur utama yang membentuk sebuah bahasa (Harmer, 1991: 11-19). Kelima unsur inilah yang memungkinkan penutur asli atau penutur kompeten sebuah bahasa dapat berkomunikasi dengan efektif. Dalam praktik komunikasi, kelima unsur tersebut saling berinteraksi dan berpadu. Interaksi dan perpaduan inilah yang digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan. Esensi kosa kata dalam interaksi kelima unsur tersebut dapat dilihat dari ilustrasiu berikut.
Ketika seorang pelajar Indonesia ingin meminjam sebuah buku dari gurunya, dia akan memilih dan merangkai kata-kata tertentu—yang dianggapnya paling pantas—dan membentuk kalimat sesuai dengan kaidah yang berlaku, yang kemudian diutarakan melalui ungkapan lisan. Mungkin dia akan mengatakan: “Bolehkah, saya meminjam buku teks Semantik milik Bapak?” Dalam kalimat ini, penggunaan kalimat tanya untuk menyampaikan permohonan dan penggunaan kata “Bapak” daripada “-mu”, misalnya, dipengaruhi oleh konsepsi diskursus. Jika kalimat tersebut dialamatkan kepada teman sebaya, si pelajar mungkin akan mengatakan: “Pinjam buku teks Semantikmu, ya.” Penyusunan kata-kata untuk membentuk kalimat tersebut berhubungan dengan tata-bahasa. Intonasi dan bunyi-bunyi yang digunakan berhubungan dengan pelafalan. Sedangkan saluran ungkapan (bahasa lisan) yang digunakan berhubungan dengan kemahiran berbahasa. Sedangkan kosa-kata berperan sebagai sarana interaksi dan pemadu keempat unsur lainnya.
Berdasarkan ilustrasi tersebut, dapat dikatakan bahwa kosa kata terlihat berperan sangat sentral dalam tidakan berkomunikasi dan pembelajaran bahasa. Tanpa kata-kata, pelafalan tidak akan bermakna, kaidah-kaidah tata-bahasa tidak dapat, diskursus tidak dapat diekspresikan, dan kemahiran berbahasa tidak mungkin dioperasionalkan.
Kosa kata sering dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu: kosa kata lisan dan tulisan. Kosa kata lisan digunakan dalam kemahiran mendengar dan berbicara, sedangkan kosa kata tulisan digunakan dalam kemahiran membaca dan menulis. Esensi penguasaan kosa kata lisan dapat dilihat dari kenyataan bahwa dalam setiap proses komunikasi melalui bahasa lisan, pesan yang disampaikan pada hakikatnya merupakan sekumpulan bunyi. Agar bermakna, bunyi-bunyi itu dikombinasikan—sesuai dengan kaidah-kaidah yang disepakati para penutur—untuk membentuk sebuah kata. Kemudian, beberapa kata dipadu menjadi frasa, klausa, atau kalimat.
Berdasarkan gambaran singkat ini, dapat dilihat bahwa kata merupakan unit terkecil dari bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan makna. Dengan mengunakan kaidah-kaidah gramatikal tertentu, beberapa kata kemudian dipadu untuk menyampaikan pesan pembicara. Selain itu, kata-kata juga merpakan unsur bahasa yang menjadi ‘bahan’ dasar dalam penerapak keempat kemahiran berbahasa. Tanpa kata-kata, tidak mungkin seseorang melakukan aktivitas mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Cook (1981) menegaskan: “Whatever the function you're trying to express, whatever the grammatical structure you're trying to use, you won't get very far without the right vocabulary.”
Keberagaman pengalaman, pendidikan, profesi, spesialisasi, dan kegemaran para penutur sebuah bahasa membuat kosa kata juga dapat diklasifikasikan berdasarkan ‘wilayah’ atau bidang kehidupan yang menggunakan kata-kata itu. Sebagian kata-kata bersifat umum, dan sebagian lain bersifat khusus. Kosa kata umum merupakan kata-kata yang sama-sama dimiliki oleh seluruh penutur tanpa memandang latar belakang pendidikan, profesi, dan kegemarannya, sedangkan kosa kata khusus merupakan sekelompok kata yang dimiliki seseorang sesuai dengan berbagai latar belakangnya. Sebagai contoh, dalam konteks bahasa Indonesia, seorang dokter dan seorang sastrawan sama-sama mengetahui makna ‘rumah’, ‘jalan’, dan ‘sekolah’. kata-kata ini adalah kelompok kata umum. Akan tetapi, si dokter juga menguasai kata-kata tertentu (khususnya istilah-istilah kedokteran) yang tidak diketahui maknanya oleh si sastrawan, dan sebaliknya si sastrawan juga menguasai kata-kata tertentu yang tidak diketahui maknanya oleh si dokter. Kata-kata seperti inilah yang disebut sebagai kata-kata bersifat khusus.
Dalam konteks bahasa ibu, jumlah, jenis, dan wilayah (register) kata yang dimiliki setiap penutur berbeda-beda, tergantung pengalaman, pekerjaan, dan pendidikan seseorang, dan kosa kata itu terus berkembang sesuai dengan perkembangan pengalaman dan pendidikannya. Ketika pengalaman atau pengetahuan sesorang bertambah, dia membutuhkan kata-kata baru untuk mengungkapkan dan menyimpan konsep-konsep tentang pengalaman atau pengetahuan yang baru itu dalam pikirannya. Oleh karena itu, jumlah kata orang yang memiliki pergaulan yang luas pasti lebih banyak daripada orang yang hanya lebih suka menyendiri. Jenis kata milik seseorang yang suka membaca berbeda dengan yang dikuasai seseorang yang tidak suka membaca. Kosa kata seorang sarjana pasti berbeda dari seorang lulusan SD.
Jumlah, jenis, dan wilayah (register) kata yang dimiliki setiap pelajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua/asing, juga bervariasi. Namun, berbeda dengan konteks pengajaran bahasa ibu, kurangnya kontak langsung dengan penutur asli membuat pengembangan kosa kata para pelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing sangat tergantung pada proses pembelajaran dan akses pada program-program yang menggunakan bahasa Inggris sebagai media. Sehubungan dengan itu, aktivitas pembelajaran merupakan kesempatan yang paling realistis digunakan untuk mengembangkan kosa kata seorang pelajar bahasa asing. Semakin banyak dia belajar atau berlatih menggunakan kaidah-kaidah tata-bahasa dan keempat kemahiran berbahasa, semakin besar kesempatan baginya untuk memperkaya kosa kata.
Uraian-uraian di atas mengungkapkan bahwa pengembangan kosa kata melalui aktivitas pembelajaran sangat penting bagi setiap pelajar bahasa asing. Hal ini ditegaskan oleh Feldman dan Kinsella (2003) dengan mengatakan bahwa jumlah kosa-kata yang dimiliki seseorang pada dasarnya merupakan sebuah tolok ukur nyata yang membedakan pelajar yang pelajar yang berhasil dan yang kurang berhasil di semua tingkatan atau kelas. Untuk menekankan esensi pengembangan kosa kata dalam pembelajaran bahasa kedua/asing, Miller (2007) menyatakan: “Vocabulary is a key element in the second language class. While grammar is important for meaning, without vocabulary no message is conveyed.”
Berdasarkan paparan-paparan di atas, dapat ditarik tiga kesimpulan pokok. Pertama, sebagai label yang digunakan untuk menyatakan ide, kosa kata merupakan komponen bahasa terpenting dan mutlak diperlukan dalam setiap komunikasi melalui bahasa. Kedua, orang yang mempelajari bahasa ibunya mengembangkan kosa kata secara berkesinambungan melalui pembelajaran di kelas dan melalui kehidupan sehari-harinya, sedangkan bagi pelajar bahasa asing, pengembangan kosa kata dapat dilakukan hanya melalui pembelajaran di kelas dan akses kepada media massa. Ketiga, sebagai cara yang paling realistis bagi pengembangan kosa kata bagi pelajar bahasa asing, aktivitas pembelajaran harus diberdayakan seoptimal mungkin untuk tujuan tersebut.

B. Pengajaran Kosa Kata
Seperti telah dijelaskan di atas, selama melaksanakan aktivitas pembelajaran atau ketika berkomunikasi melalui bahasa yang dipelajari, para pelajar bahasa terus menerus dihadapkan dengan tugas mengenal, mempelajari dan menguasai kosa-kata baru. Oleh karena itu, salah satu tugas guru bahasa adalah membantu muridnya mengembangkan kosa kata sebanyak mungkin. Akan tetapi tidak sedikit guru bahasa yang mengabaikan kenyataan mendasar ini dengan asumsi bahwa kosa kata seseorang akan berkembang dengan sendirinya (secara tidak langsung) melalui aktivitas-aktivitas pembelajaran atau tindakan berkomunikasi yang dijalani. Padahal berbagai penelitian, seperti McKeown and Beck (1988), menunjukkan bahwa pengajaran kosa kata secara langsung jauh lebih efektif daripada yang tidak langsung. Penelitian Graves (2000) mengungkapkan bahwa pengembangan kosa kata merupakan tugas yang menantang. Dalam buku-buku teks yang mereka baca, siswa dapat dihadapkan dengan lebih dari 100,000 kata yang berbeda. Meskipun dapat mempelajari 3000 hingga 4000 kata setiap tahun, seorang mahasiswa masih akan menemukan ratusan ribu kata baru dalam teks-teks yang mereka pelajari. Oleh karena itu, pengembangan kosa kata secara langsung maupun tidak langsung harus dilakukan.
Untuk melaksanakan pengembangan kosa kata secara langsung maupun tidak langsung tersebut, Graves (2000) mengusulkan penggunaan program pengembangan kosa-kata empat-bagian. Pertama, membaca ekstensif, yang dilakukan dengan cara menyediakan buku-buku baru yang menarik minat siswa dan memotivasi siswa membaca sebanyak mungkin secara mandiri. Kedua, pengajaran kata-kata pilihan, yang dilakukan dengan memilih dan mengajarkan berbagai kata-kata kunci yang dibutuhkan untuk memahami teks-teks wajib secara langsung. Ketiga, pengajaran strategi-strategi untuk mempelajari kata-kata—analisis, penggunaan konteks, maupun penggunaan kamus—agar siswa dapat mengembangkan kosa katanya secara mandiri kapanpun dibutuhkan. Keempat, menanamkan ‘kesadaran kata’ atau rasa tanggungjawab untuk selalu menggunakan kata secara cermat, yang dilakukan dengan cara pemodelan—guru selalu menggunakan diksi yang tepat dalam bahasanya.
Berdasarkan ulasan yang dilakukannya pada berbagai penelitian tentang pengajaran kosa kata, Mazano (2003) mengindikasikan bahwa pengembangan kosa kata tidak mungkin lagi dilandaskan pada metode pembelajaran tidak langsung dengan cara menugaskan siswa membaca ekstensif dan menebak arti setiap kata yang ditemui. Pengembangan kosa kata harus dilakukan secara terprogram berdasarkan pengetahuan tentang komponen-komponen penting yang terdapat dalam pengajaran kosa kata. Hasil ulasan Mazano pada berbagai penelitian pengajaran kosa kata mengungkapkan tiga komponen paling penting dalam sebuah pengajaran kosa-kata yang berhasil: memotivasi siswa untuk membaca ekstensif teks-teks bidang studi yang dipelajari siswa dan teks-teks lain pilihan siswa, pengajaran langsung mengenai kata-kata dan frasa yang berhubungan dengan mata pelajaran siswa; menyediakan akses bagi siswa untuk mengenal kata-kata baru; dan memotivasi siswa untuk mengelaborasi pemahamannya tentang kata-kata baru dengan menggunakan gambar-gambar nyata, simbol, dan gambaran-gambaan mental sehingga siswa memiliki pengalaman personal atas kata-kata itu. Sebagai perwujudan ketiga komponen pembelajaran itu, siswa diminta mengidentifikasi kata-kata yang menarik baginya dan kemudian mencatat kata-kata itu beserta makna masing-masing dalam sebuah buku catatan kosa kata pribadi.
Meskipun pengajaran kosa kata tidak langsung juga dapat digunakan untuk memperkaya kosa kata, dalam kelas pengajaran bahasa kedua/asing pengajaran langsung memberikan hasil yang lebih signifikan. Hal ini didukung oleh berbagai hasil penelitian yang dirangkum oleh Miller (2007). Pertama, agar dapat mengingat sebuah kata yang telah dipelajari, siswa perlu melihat kata itu antara 5 hingga 16 kali dalam berbagai konteks. Kedua, aktivitas pembelajaran kata perlu dilakukan secara variatif, karena siswa dapat mengingat sebuah kata dengan baik bila kata itu telah dimanipulasi dalam berbagai cara. Ketiga, pengulangan dan ulasan perlu dilakukan secara berulang-ulang mengingat bahwa kebanyakan kata-kata baru cenderung menguap dari ingatan 24 jam setelah pembelajaran. Keempat, agar dapat disimpan dalam memori jangka panjang, jumlah kata yang dipelajari dalam satu sesi tidak boleh lebih dari 12 kata.

C. Pengajaran Kosa Kata Secara Langsung
Pengajaran kosa kata langsung terlaksana ketika di dalam kelas guru melakukan berbagai latihan dan aktivitas yang memusatkan perhatian siswa pada kosa kata, seperti menebak makna kata dengan menggunakan konteks atau teknik analis komponen kata, melakonkan kata-kata, melihat atau membuat gambar, mengerjakan teka-teki silang, dan melakukan permainan kata lainnya. Jadi, dalam pembelajaran kosa kata langsung siswa melakukan upaya-upaya sadar untuk mengingat kata-kata.
Tolok ukur utama penguasaan sebuah kata adalah ingatan. Dengan mengingat sebuah kata dan maknanya, sesorang akan mampu menggunakan kata itu untuk memahami atau menyampaikan pesan. Agar sebuah kata dapat diingat dengan baik, siswa perlu menghubungkannya dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya, suara, gambar, perasaan personal, diagram, dan lain sebagainya. Untuk mewujudkan hal itu, Miller (2007), mengusulkan penerapan lima aktivitas. Pertama, siswa menghubungkan kata dengan pengalaman pribadi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menugaskan siswa mengkategorikan kata-kata yang dipelajari ke dalam kelompok-kelompok tertentu berdasarkan kriteria yang sesuai dengan pengalaman masing-masing, seperti kata-kata yang disukai atau tidak disukai, kata-kata yang mudah atau sulit diingat, kata-kata yang mudah atau sulit dilafalkan, dan lain-lain. Kedua, siswa menyeleksi dan membuat tingkatan kata-kata sesuai dengan pengalaman masing-masing. Sebagai contoh, ketika mempelajari nama-nama hewan, siswa memilih nama-nama hewan yang masih baru baginya dan mengklasifikasikannya ke dalam kelompok nama hewan yang berbahaya dan jinak. Ketiga, siswa melakukan Total Physical Response (TPR) dengan cara melakonkan kata-kata kerja atau menunjukkan mimik yang sesuai dengan kata-kata sifat tentang emosi yang baru dipelajari. Keempat, siswa memilih atau membuat gambar/sketsa yang sesuai dengan makna kata-kata yang dipelajari. Kelima, siswa mengelompokkan kata-kata dengan menggunakan kolokasi. Hal ini dilakukan dengan membuat peta pikiran yang menunjukkan hubungan tertentu antar kata-kata yang dipelajari.
Mengingat bahwa fokus penelitian ini adalah prosedur penggunaan TPR untuk mengajarkan kosa kata, pembahasan berikut akan difokuskan pada pembahasan TPR.

D. Total Physical Response (TPR)
1. Latar Belakang dan Pengertian
TPR adalah metode pengajaran bahasa yang dikembangkan pertama kalinya pada tahun 1970-an oleh Asher, seorang profesor psikologi di Universitas San Jose California. Metode ini dilandaskan pada hasil pengamatan terhadap cara yang digunakan bayi untuk memperoleh bahasa ibunya, yang pada umumnya berlangsung dalam bentuk percakapan yang didalamnya anak-anak memberi respon fisik oleh terhadap instruksi orang-tua atau orang lain di sekitar mereka. Sebagai contoh, ketika seorang ayah berkata: "Look at dad" atau "Give me the ball" si anak akan melakukannya. Percakapan seperti ini berlangsung selama beberapa bulan sebelum si anak memberi respon verbal. Meskipun selama percakapan si anak tidak merespon secara verbal, dia sebenarnya sedang berupaya menguasai elemen-elemen bahasa yang didengarnya. Setelah penguasaannya memadai, si anak akan memberi respon verbal secara spontan. Berdasarkan gambaran ini, (Richards and Rogers (1986: 87) mendefinisikan TPR sebagai “a language teaching method built around coordination of speech and action; it attempts to teach language through physical (motor) activity”.

2. Desain dan Prosedur Umum TPR
Seperti terungkap melalui penjelasan di atas, TPR adalah metode pengajaran bahasa yang dirancang untuk memampukan siswa memperoleh ungkapan-ungkapan baru, khususnya kata kerja dan kata-kata lain yang menyertainya, melalui aktivitas mendengar dan melakonkan kata-kata tersebut. Dalam pembelajaran, siswa tidak perlu berbicara. Tugas utama mereka adalah melakonkan perintah-perintah yang diucapkan guru (berperan sebagai orangtua) secara berulang-ulang hingga lancar. Pemberian perintah, model, dukungan, dan hubungan yang akrab yang berkelanjutan dari guru secara psikologis akan membuat siswa belajar tanpa tekanan. Ketidakharusan untuk memberikan repon verbal juga akan mengurangi kecemasan yang sering dialami individu ketika akan mengucapkan kata-kata baru. Karakteristik ini membuat TPR dapat diterapkan dalam semua jenjang pembelajaran bahasa. Akan tetapi, metode ini akan memberi manfaat optimal bila digunakan pada oleh siswa pemula.
Dalam tataran praktik, guru mengawali pembelajaran dengan mengucapkan perintah berbentuk sebuah kata (seperti: “Jump!” atau Read!”) atau sebuah frasa (seperti: 'look at the board') dan melakonkan tindakan sesuai dengan perintah tersebut. Setelah itu, guru kembali mengucapkan perintah dan seluruh siswa melakonkannya. Setelah mengulangi aktivitas yang sama beberapa kali, guru bisa menugaskan siswa mengucapkan perintah tersebut dan sekaligus melakokannya. Setelah masing-masing siswa merasa yakin akan penguasaannya terhadap kata atau frasa tersebut, guru dapat menugaskan siswa saling berganti peran untuk memberikan dan melakonkan perintah terebut.
Meskipun TPR sangat sesuai digunakan untuk mempelajari kata-kata kerja atau frasa-frasa yang mengungkapkan perintah, metode ini juga dapat digunakan untuk mempelajari materi-materi berikut secara efektif. Pertama, mempelajari ‘tenses’, seperti dengan cara menyebutkan dan melakokan kalimat “Every morning I clean my teeth, I make my bed, I eat breakfast”. Kedua, mempelajari ungkapan-ungkapan yang lazim digunakan dalam kelas, seperti “Open your books”, “Clean the white board”. Dan ketiga, cerita pendek, yang dilakukan melalui dramatisasi sewaktu membaca cerita.

3. Keterbatasan TPR
Sebagaimana metode pengajaran bahasa lainnya, TPR bukanlah sebuah metode yang sempurna. Metode ini memiliki beberapa kelebihan dan juga keterbatasan. Berikut adalah delapan keterbatasan TPR yang dirangkum dari berbagai sumber.
a) Siswa yang tidak terbiasa—misalnya karena latar belakang budaya—melakukan tindakan tertentu (yang diungkapkan kata kerja yang dipelajari) akan merasa malu melakonkannya. Hal seperti cenderung ditemukan pada siswa dewasa.
b) Metode ini sangat cocok digunakan bagi kelas pemula—seperti siswa SD di Indonesia. Jika digunakan untuk mengajarkan kata-kata abstrak, dibutuhkan berbagai improvisasi untuk mengkonkritkan kata-kata itu sebelum dilakonkan.
c) Metode ini cocok digunakan untuk mengembangkan kemahiran mendengar, sedangkan kemahiran berbicara cenderung dikorbankan.
d) Siswa cenderung hanya menirukan aktivitas guru secara pasif.
e) Metode ini dianggap mencegah tekanan selama proses pembelajaran, padahal tekanan yang positif justru diperlukan untuk mempercepat pembelajaran.
f) Metode ini membutuhkan berbagai alat peraga yang mungkin tidak disediakan oleh lembaga tempat pembelajaran berlangsung. Akibatnya, guru harus menyediakan waktu ekstra untuk mencari atau membuat alat-alat yang dibutuhkan. Selain waktu, kreativitas, imajinasi, dan kesabaran guru juga sangat dibutuhkan.
g) Materi ajar (kata-kata atau unsur-unsur tata-bahasa) yang akan diajarkan dipilih bukan berdasarkan frekuensi, kebutuhan, atau kegunaannya dalam situasi komunikasi, melainkan berdasarkan kemungkinan pengajarannya di kelas sesuai dengan situasi dan kondisi kelas.
h) Implementasi metode ini membutuhkan waktu yan banyak. Untuk mempelajari satu kata saja, misalnya, harus dilakukan melalui prosedur yang panjang, mulai dari pengucapan perintah dan pemodelan oleh guru, demontstrasi oleh siswa secara bersama-sama, pemberian umpan balk oleh guru, dan kemudian diakhiri dengan demonstrasi secara bergantian oleh siswa. Meskipun memboroskan waktu, harus diakui bahwa ingatan siswa terhadap kata yang telah dipelajari memang jauh lebih kuat daripada hasil yang diperoleh melalui metode lain.

E. Prosedur Pengajaran Kosa-Kata melalui TPR
Untuk mengajarkan kosakata bahasa Inggris dengan menggunakan metode TPR, guru dapat mengikuti berbagai prosedur yang telah disiapkan oleh para ahli yang bisa didapatkan di toko-toko buku yang menyediakan bahan-bahan pelajaran untuk keperluan sekolah. Selain itu, guru juga bisa menyusun sendiri prosedur pengajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan siswanya. Yang harus diingat adalah bahwa kata-kata yang akan diajarkan harus dapat dilakonkan sehingga maknanya dapat dipahami siswa, dan pembelajaran dilakukan dengan mengikuti delapan tahapan berikut (Gordon, NA).
• Siswa menyaksikan demonstrasi kata-kata kunci dan mendengar perintah penggunaan kata-kata itu.
• Siswa kembali menyimak guru mengucapkan dan mendemonstrasikan (melakonkan) kata-kata yang dipelajari.
• Guru kembali mengucapkan perintah penggunaan kata-kata dan melakukankan demontsrasi dan siswa mengikuti model yang dilakukan guru.
• Guru kembali mengucapkan perintah tanpa melakukan demonstrasi, dan siswa melakonkan perintah yang diberikan.
• Guru kembali mengucapkan perintah tanpa melakukan demonstrasi, dan secara individual siswa melakonkan.
• Guru melakukan demonstrasi lakon yang bervariasi dan seluruh siswa mengikuti.
• Guru kembali mengucapkan perintah yang variatif tanpa demontrasi, dan siswa melakonkan perintah-perintah yang diberikan secara bersama-sama.
• Jika siswa sudah mahir melakonkan dan mengucapkan perintah, secara bergantian siswa saling memberikan perintah dan melakonkan.
Berikut ini adalah sebuah contoh dari implementasi prosedur di atas dengan tujuan mengajarkan kata “bag”, “show”, “paper”, “take out”, “pencil”, “write”, dan “word”. Setiap guru bisa saja melakukan perubahan pada bagian tertentu sesuai dengan situasi kelas kebutuhan siswa.

Tabel 1: Contoh Implementasi Pengajaran Kosa Kata Melalui TPR
THP AKTIVITAS
1 Guru memperkenalkan ketujuh kata kunci dengan mengucapkan kata tersebut sambil menunjukkan bendanya atau melakonkan aktivitas yang sesuai dengan kata tersebut.
• Look here, I have a bag. (mengangkat sebuah tas) You see, I have a bag. Now I’m showing you my bag. Show, showing. I’m showing you my bag. Show, showing. I’m showing you my bag.
• Inside the bag, I have a piece of paper. (memperlhatkan kertas yang ada di dalam tas). You see, I have a paper in the bag. I’m showing you a paper. Peper. This is a paper. I’m showing you a paper.
• I can take the paper out (mengeluarkan kertas). I can take the paper out (mengulangi tindakan mengeluarkan kertas, tentu setelah sebelumnya dimasukkan kembali).
• I also have a pencil in my bag (menunjukkan pensil). This is my pencil. You see, I have a pencil in my bag.
…….(Guru terus memperkenalkan seluruh kata kunci hingga habis)…….

2 Guru mengulangi pengucapan dan demonstrasi setiap kata.

3 Guru mengulangi pengucapan dan demonstrasi setiap kata dan siswa mengikuti demonstrasi dengan mengikuti model yang diberikan guru (Setiap siswa harus memiliki alat-alat seperti yang digunakan guru).

4. Guru hanya mengucapkan perintah, siswa melakukan demontrasi.
• Show me your bag. Put it up. Show me your bag. ……. dst.
• Take your paper out. Take it out of the bag. Take the paper out. ……. dst.
• Take your pencil out. Take it out of the bag. Take the pencil out. ……. dst.
5. Guru kembali mengucapkan perintah tanpa melakukan demonstrasi, dan secara individual siswa melakonkan.
Now, Hasan, do what I command.
• Show me your bag. Put it up. Show me your bag. ……. dst.
• Take your paper out. Take it out of the bag. Take the paper out. ……. dst.
• Take your pencil out. Take it out of the bag. Take the pencil out. ……. dst.
(Hasan melakonkan apa yang diperintahkan guru).

Now, Sandra, do what I command.
• Take your paper out. Take it out of the bag. Take the paper out. ……. dst.
• Take your pencil out. Take it out of the bag. Take the pencil out. ……. dst.
• Write down the word “LOVE” on the paper. Write down the word “LOVE”, L-O-V-E , … L-O-V-E, … the word “LOVE”. Write down the word “LOVE”on the paper.
(Sandra melakonkan apa yang diperintahkan guru).

6. Guru melakukan demonstrasi lakon yang bervariasi dan seluruh siswa mengikuti.
Class, look and follow what I do!
• I take out a paper and a pencil from my bag.
• Lets repeat it. I take out a paper and a pencil from my bag.
• Then, I write the word “LOVE” on the paper.
• Lets repeat it. I write the word “LOVE” on the paper.
• Now I do the whole. I take out a paper and a pencil from my bag, and write the word “LOVE” on the paper.

7. Guru mengucapkan perintah yang variatif tanpa demontrasi, dan siswa melakonkan perintah-perintah yang diberikan secara bersama-sama.

8. Setelah siswa mahir melakonkan dan mengucapkan perintah, secara bergantian siswa saling memberikan perintah dan melakonkan, baik secara kelompok maupun secara perpasangan.
• (Seorang siswa disuruh maju ke depan kelas) Now, Wawan, do what I command.
• Take out a paper and a pencil from your bag. Ok, now write the word “LOVE” on the paper. (Wawan melakonkan apa yang diperintahkan)



BAB III
METODE PENELITIAN


A. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan prosedur penggunaan metode TPR dalam pengajaran kosa kata bahasa Inggris di sekolah dasar.

B. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di kelas V SD X, pada tanggal ... Januari hingga ... Februari 2009.

C. Latar penelitian (setting)
Kelas V SD X yang dijadikan latar penelitian ini terdiri dari … siswa, … laki-laki dan … orang perempuan. Secara umum, siswa di kelas ini sudah mempelajari bahasa Inggris selama satu setengah tahun (sejak kelas IV). Dengan demikian, materi pelajaran bahasa Inggris mereka masih pada tingkatan dasar. Jadi, secara teoritis, penggunaan TPR sangat sesuai bagi mereka.
Ruangan yang digunakan kelas ini berukuran … X … meter. Peralatan yang dimiliki terdiri dari …….. (uraikan sesuai realita)

D. Metode penelitian
Penelitian ini menggunakan metode etnografi, dengan bentuk studi kasus yang oleh Cresswell (2008: 476) digambarkan sebagai sebagai ekplorasi mendalam dan terfokus pada sebuah sebuah program, aktivitas, kejadian, proses, yang melibatkan sekelompok individu. Dalam penelitian ini, metode etnografi digunakan untuk mengobservasi proses pelaksanaan pengajaran kosa kata bahasa Inggris dengan menggunakan TPR.



E. Fokus penelitian
Penelitian ini difokuskan pada proses pelaksanaan pengajaran kosa kata bahasa Inggris dengan menggunakan TPR di kelas V SD X.

F. Pertanyaan penelitian
Penelitian ini dilaksanakan untuk menemukan jawaban terhadap pertanyaan: “Bagaimana pengajaran kosakata bahasa Inggris dengan menggunakan Total Physical Response (TPR) di kelas V SD Negeri 04 Pagi Cibubur, Jakarta Timur?”

G. Prosedur Pengumpulan dan Perekaman Data
Data dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data. Pertama, data primer berupa catatan-catatan lapangan yang diperoleh melalui pengamatan berperan serta, pengamatan deskriptif, dan pengamatan terfokus terhadap situasi kelas dan proses pengajaran kosakata bahasa Inggris dengan menggunakan Total Physical Response (TPR) di kelas yang diamati, dan data yang diperoleh melalui wawancara terhadap guru dan … orang siswa yang dipilih secara acak sebagai perwakilan. Kedua, data sekunder, yang diperoleh dari dokumen-dokumen berupa Rencana Pembelajaran dan kertas kerja siswa. Data yang diperoleh kemudian diorganisasikan ke dalam kartu-kartu data yang telah disediakan, yaitu: (1) setting, (2) partisipan, (3) peralatan pembelajaran, (4) tahapan pembelajaran, dan (5) pencapaian belajar siswa.

H. Analisis Data
Data yang diperoleh dan diorganisasikan kemudian diolah dengan menggunakan analisis data model Spradley, yang dilaksanakan dalam siklus 7 tahapan seperti terungkap dalam gambar berikut (Moleong, 2004: 148).
Gambar 1: Siklus Analisis Data












I. Pemeriksaan/konfirmasi keabsahan data
Keabsahan data ditentukan melalui audit internal dan audit eksternal. Audit internal dilakukan melalui triangulasi, yang dilaksanakan melalui analisis konfrontatif antara hasil wawancara siswa 1 dengan siswa 2, seluruh siswa dengan guru, data observasi dengan data interview dan data sekunder (dokumen). Audit eksternal dilakukan melalui penilaian ahli (expert judgment).

J. Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan melalui prosedur berikut:
1. Tahap Persiapan:
a. Mengajukan surat permohonan izin melaksanakan penelitian yang ditujukan kepada kepala sekolah SD X.
b. Mendiskusikan rencana pelaksanaan penelitian bersama guru bahasa Inggris di kelas V SD X.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Mengamati pelaksanaan pengajaran kosa kata dengan menggunakan metode TPR sebanyak tiga sesi. Setiap sesi berlangsung selama 2 X 40 menit (Data selanjutnya dapat dilihat pada lampiran Rencana Pembelajaran). Pengamatan dilakukan dengan cara pengamatan berperan serta. Kadang-kadang, peneliti ikut berperan sebagai siswa dan kadang-kadang sebagai guru.
b. Hasil pengamatan dituangkan dalam catatan lapangan maupun dalam bentuk rekaman video.
c. Pada setiap akhir sesi pembelajaran dilakukan tes oral terhadap ... siswa yang dipilih secara acak untuk menilai hasil pembelajaran.
d. Pada saat istirahat dilakukan wawancara terhadap guru dan .... orang siswa tentang pandangan mereka mengenai pengajaran kosa kata melalui metode TPR.

3. Tahap Akhir
a. Setelah data yang dibutuhkan terkumpul dan terorganisasi, peneliti melakukan analisis dan interpretasi data secara deskriptif.
b. Penelitian diakhiri dengan penulisan laporan penelitian.



DAFTAR PUSTAKA


Carruthers, Steven W. 2006. “The Total Physical Response Method and Its Compatibility with Adult ESL Learners”. Diunduh pada tanggal 8 Mei 2008 dari: EBSCO ERIC database. (ED428927).
Cook, Vivian. 1981.”Teaching Vocabulary”. Published in Modern English Teacher, 8, 3, 1981. Diunduh pada tanggal 18 Juni 2007 dari: http://homepage.ntlworld.com /vivian.c/ Vivian%20Cook.htm
Creswell, John W. 2008. Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Dinas Pendidikan Dasar. 2007. Kurikulum Muatan Lokal SD. Jakarta: Dinas Pendidikan Dasar.
Feldman, Kevin and Kate Kinsella. 2003. “Narrowing the Language Gap: Strategies for Vocabulary Development.” Diunduh pada tanggal 8 Mei 2007 dari: www. fcoe.net/ela/pdf/Vocabulary/Narrowing Vocab Gap KK KF 1.pdf
Graves, M. F. 2000. “A vocabulary program to complement and bolster a middle-grade comprehension program.” In B. M. Taylor, M. F. Graves, & P. van den Broek (Eds.), Reading for meaning (pp. 116-135). Newark, DE: International Reading Association.
Hsu, Jeng-yih Tim and Chu Yiao Chiu. 2008. ”Leical Collocations and their Relation to Speaking Proficiency of College EFL Learners in Taiwan.” An article published in The Asian EFL Journal, March/2008. Vol. 10 No. 1. Busan: Asian EFL Journal Press.
Krashen, Stephen. 1988. “TPR: Still a Very Good Idea”. Diunduh pada tanggal 9 Juni 2008 dari: http://www.languageimpact.com/articles/articles.htm
Marzano, R. J. 2003. What works in schools: Translating research into action. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development.
McKeown, Margaret G., and Isabel L. Beck. 1988. "Learning Vocabulary: Different Ways for Different Goals," Remedial and Special Education (RASE), 9(1), 42-46. [EJ 367 432]. Diunduh pada tanggal 26 April 2007 dari: http://www.indiana.edu/%7Eeric_rec/ieo/digests/d126bib. html#mckeown
Miller, Kari. 2007. “EFL Vocabulary Teaching Tips” Diunduh pada tanggal 8 Mei 2008 dari: http://esl-programs-lessons.suite101.com/
Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remadja Rosdakarya.
Murdibjono, Arwijati. 1987. Salah dan benar dalam Bahasa Inggris. Jogjakarta: PT. Hanindita.
Richards, J. C. & Rogers, T. S. 1986. Approaches and methods in language teaching: A description and analysis. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Smith, Carl B. 1997. “Vocabulary Instruction and Reading Comprehension”. Bloomington: ERIC Clearinghouse on Reading, English and Communication.

Friday, January 23, 2009

IMPLIKASI ASPEK BUDAYA DALAM PENERJEMAHAN NOVEL: STUDI KASUS DALAM PENERJEMAHAN ANIMAL FARM


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penerjemahan berperan penting dalam kehidupan umat manusia karena telah membuat komunikasi antar bangsa dengan bahasa yang berbeda-beda dapat dilakukan. Sulit membayangkan bagaimana dialog-dialog interkultural yang dilakukan untuk meningkatkan pemahaman dan kerjasama antar bangsa diselenggarakan. Sirkulasi ide, pengetahuan, informasi, dan nilai-nilai dari satu bangsa ke bangsa lain juga akan mengalami hambatan tanpa menggunakan terjemahan.

Esensi penerjemahan dalam kehidupan umat manusia terlihat jelas dalam penerjemahan karya-karya sastra yang diyakini merupakan salah satu media paling efektif untuk mengembangkan pemahaman mutual antar bangsa. Sejak didirikan pada tahun 1948, UNESCO, badan PBB yang membidangi pengembangan pendidikan, ilmu dan kebudayaan, dan bertujuan menciptakan perdamaian di hati umat manusia, telah menggunakan penerjemahan karya-karya sastra sebagai salah satu upaya utama untuk mencapai tujuan tersebut (Rosi, 2005). Fakta ini menunjukkan bahwa, penerjemahan novel berperan penting dalam upaya menciptakan perdamaian dunia.

Secara umum, penerjemahan dipandang sebagai suatu proses pemindahan makna atau pesan yang sama dengan yang dimaksudkan pengarang asli bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa lain (bahasa sasaran= BSa), sehingga sebuah hasil terjemahan harus memiliki hubungan kesepadanan dengan teks sumber. Menurut Nababan (2008), hubungan kesepadanan, yang sering dianggap sebagai aspek terpenting dari sebuah terjemahan berkualitas, pada hakikatnya merupakan suatu hal yang problematik karena adanya perbedaan-perbedaan aspek linguistik (morfologis, sintaksis, semantis) dan kultural antara BSu dan BSa. Toury (2002) mengatakan penerjemahan adalah sebuah aktivitas yang melibatkan dua bahasa dan dua kebudayaan sekaligus, Semakin besar perbedaan-perbedaan antara BSu dan BSa, dalam kedua aspek tersebut, semakin tinggi pula tingkat kesulitan pemindahan makna atau pesan di antara kedua bahasa itu. Sebagai contoh, ungkapan “I lost my money”, yang jika ditinjau dari strukturnya merupakan kalimat aktif, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan ungkapan berstruktur pasif “Uang saya hilang”. Oleh karena itu, teks BSa dan teks BSu tidak mungkin benar-benar sepadan dalam seluruh aspek linguistik dan kultural.

Berdasarkan bahwa paparan-paparan diatas, dapat dikatakan bahwa aspek-aspek linguistik dan kultural antara BSu da BSa merupakan penyebab utama timbulnya kesulitan atau kendala dalam penerjemahan. Oleh karena itu, untuk menghasilkan TSa yang baik, kemampuan bilingual penterjemah saja belum memadai. Dia juga harus memiliki kemampuan bikultural, atau pemahaman lintas budaya. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa bahasa dan budaya merupakan dua entitas yang tidak terpisahkan. Ketika berkomunikasi melalui bahasa, termasuk melalui tulisan, setiap orang pasti melibatkan budayanya, yang meliputi nilai-nilai, keahlian, pegetahuan, norma-norma, sikap, motif, bahasa, maupun benda-benda material yang dimilikinya sebagai individu maupun anggota masyarakat. Karena penerjemahan juga melibatkan pemindahan pikiran dari satu bahasa (dan budaya) ke dalam ungkapan yang sepadan dalam suatu bahasa (dan budaya) lainnya, secara otomatis, aktivitas itu juga melibatkan proses pengodean (en-coding), pengodean kembali (de-coding), dan pengodean ulang (re-coding) aspek-aspek budaya (Karamanian, 2007).

Menyadari esensi pemahaman lintas budaya dalam penerjemahan, berbagai ahli bidang penerjemahan telah berupaya meneliti perbedaan-perbedaan kultural diantara berbagai bahasa. Salah satu konsep yang dilandaskan pada hasil-hasil penelitian tersebut adalah konsep Newmark (1988: 95-102) yang mengungkapkan bahwa dalam sebuah teks seluruh aspek budaya terungkap melalui terminologi-terminologi bermuatan budaya yang disebut cultural words. Terminologi atau kata-kata bermuatan budaya tersebut dapat diterjemahkan dalam berbagai prosedur sesuai dengan perannya dalam teks dan tujuan penerjemahan. Kata-kata tersebut diklasifikasikan ke dalam lima kategori dan berbagai sub-kategori. Sedangkan cara penerjemahannya dapat dipilih dari antara lima belas prosedur penerjemahan yang paling sesuai berdasarkan perannya dalam teks dan tujuan penerjemahan, seperti naturaliasi, modulasi, parafrase, transposisi dan lain-lain.

Menurut James (2002), perbedaan aspek budaya mengakibatkan paling tidak empat implikasi terhadap penerjemahan, yaitu (a) mencari kandungan makna kata yang sepadan, (b) menginterpretasi makna yang terungkap melalui struktur kalimat, (c) menyesuaikan proses penerjemahan dengan ideologi penerjemahan yang digunakan, dan (d) memahami cara hidup dalam budaya BSu maupun BSa. Implikasi pertama, kedua, dan keempat berhubungan dengan pemahaman aspek-aspek budaya yang terlibat dalam teks BSu dan pencarian padanan yang paling dekat bagi konsep, institusi, atau nama bermuatan makna kultural dalam BSa. Implikasi ketiga berhubungan dengan prinsip atau keyakinan tentang orientasi penerjemahan yang betul atau paling “berterima”. Jika penerjemahan berorientasi pada adaptasi terhadap budaya masyarakat BSa, sehingga pembaca tidak merasakan TSa yang dihadapinya adalah hasil terjemahan, ideologi yang dianut adalah taransparansi (domestication). Sebaliknya, jika penerjemahan diarahkan kepada upaya mempertahankan kebudayaan masyarakat BSu agar pembaca TSa terjemahan tetap merasakan kebudayaan BSu, ideologi yang dianut adalah transferensi (foreignization).

Salah satu bentuk teks yang sarat dengan aspek-aspek budaya adalah novel. Sebagai salah satu jenis karya fiksi, yang oleh Altenbernd dan Lewis (1966: 14) didefinisikan sebagai sebuah prosa imajinatif namun masuk akal (karena mengungkapkan realitas kehidupan) yang mendramatisir perubahan dalam hubungan antar manusia, sebuah novel dikarang berdasarkan pengalaman dan hasil pengamatan penulis mengenai kehidupan dengan latar belakang budaya tertentu. Pengalaman dan hasil pengamatan tersebut kemudian diseleksi dan diungkapkan kembali oleh penulis sesuai dengan tujuan penulisannya—menghibur dan merefleksikan kehidupan. Karena ditulis berdasarkan realita dan untuk mengungkapan kehidupan pada masyarakat tertentu, setiap novel mengungkapkan emosi, ide, sikap, kebiasaan, keyakinan, gaya hidup dan aspek-aspek kultural lainnya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.

Implikasi aspek budaya dalam penerjemahan seperti dijelaskan di atas juga banyak dihadapi oleh penulis sewaktu menerjemakan novel Animal Farm, novel terbaik karya George Orwell, ke dalam bahasa Indonesia. Novel yang diterbitkan pertama kalinya pada tahun 1945 ini ditulis dalam bentuk fabel yang berkisah tentang pemberontakan hewan-hewan penghuni peternakan Manor Farm (yang menggunakan Inggris sebagai latar tempat) terhadap pemiliknya, Mr. Jones.

Novel ini menarik untuk bibaca karena, isu yang dihadirkan di dalamnya sangat serius. Meskipun ceritanya berbentuk fabel, novel ini pada dasarnya merupakan sebuah satir politik yang mengkritik rejim-rejim totaliter secara umum dan Revolusi Rusia (atau Bolshevic) 1917 secara khusus (Alkiviadou dan Nordal, 2003). Orwell (1947) sendiri menyatakan bahwa novel ini dikarangnya sebagai upaya untuk menyatukan pembahasan isu politik dan tujuan artisik dalam satu kesatuan.

Sebagai sebuah fabel dan sekaligus sebagai satir politik, novel ini sarat dengan terminologi-terminologi bermuatan budaya yang tidak hanya berhubungan dengan dunia peternakan di Inggris tetapi juga ide-ide, tokoh-tokoh maupun peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan Revolusi Rusia. Sehubungan dengan itu, novel ini sangat menantang untuk diterjemahkan.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan paparan pada bagian latar belakang masalah di atas, penulis mengidentifikasi masalah-masalah berikut:

1. Perbedaan aspek-aspek linguistik apa sajakah yang ditemukan antara bahasa Inggris (sebagai BSu) dan bahasa Indonesia (sebagai BSa) sewaktu melaksanakan proses penerjemahan Animal Farm kedalam bahasa Indonesia?

2. Apakah gaya bahasa yang digunakan dalam Animal Farm berimplikasi terhadap proses penerjemahan novel ini ke dalam bahasa Indonesia?

3. Apakah hakikat Animal Farm sebagai sebuah fabel memberikan kendala dalam proses penerjemahan novel ini ke dalam bahasa Indonesia?

4. Apakah hakikat Animal Farm sebagai satir politik terhadap Revolusi Rusia memberikan kendala yang signifikan dalam proses penerjemahan novel ini ke dalam bahasa Indonesia?

5. Terminologi bermuatan budaya (cultural words) apa sajakah yang berimplikasi terhadap penerjemahan Animal Farm ke dalam bahasa Indonesia?

6. Prosedur penerjamahan apa sajakah yang perlu diterapkan untuk menerjemahkan terminologi-terminologi bermuatan budaya dalam Animal Farm ke dalam bahasa Indonesia?

C. Pembatasan Masalah

Agar penelitian lebih terfokus, masalah dalam penelitian ini dibatasi hanya pada identifikasi terminologi-terminologi bermuatan budaya (cultural words) dalam Animal Farm dan teknik-teknik yang digunakan untuk menerjemahkan terminologi-terminologi tersebut ke dalam bahasa Indonesia.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah di atas, masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Terminologi budaya apa sajakah yang berimplikasi terhadap penerjemahan Animal Farm ke dalam bahasa Indonesia dan teknik-teknik apa saja yang perlu digunakan untuk menerjemahkan masing-masing terminologi itu ke dalam bahasa Indonesia?

E. Kegunaan Penelitian

Hasil-hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk hal-hal berikut:

1. Memperkaya khasanah kosa kata bahasa Indonesia, khususnya yang berbentuk terminologi bermuatan budaya.

2. Memperkaya koleksi novel satir politik berbahasa Indonesia yang berbentuk fabel.

II. KAJIAN TRORETIK

A. Teori Penerjemahan

Penerjemahan, yang permulaannya menurut Adewuni (2006) dapat ditelusuri pada zaman Menara Babel, merupakan sebuah aktivitas yang rumit karena melibatkan banyak faktor. Meskipun telah dilakukan selama ribuan tahun, keberadaannya sebagai ilmu masih tergolong baru. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa teori-teori penerjemahan yang berpengaruh hingga saat ini dihasilkan setelah abad ke-20. Menurut Hariyanto (2002), teori-teori tersebut dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Pertama, teori-teori penerjemahan tradisional, yang muncul hingga tahun 1970-an, yang cenderung menekankan pengalihbahasaan pesan dan makna dari BS ke BT dengan hanya mengandalkan penguasaan penterjemah atas kedua bahasa yang terlibat dan pemahamannya atas topik-topik yang diterjemahkan. Kedua, teori-teori penerjemahan kontemporer, yang muncul sejak tahun 1978, yang menekankan esensi pemahaman aspek budaya untuk menghasilkan terjemahan yang baik.

Teori penerjemahan tradisional secara umum menyatakan bahwa penerjemahan adalah suatu proses pemindahan makna atau pesan yang sama dengan yang dimaksudkan pengarang asli bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa lain (bahasa sasaran = BSa). Selaras dengan berbagai definisi yang sering dirujuk dalam teori-teori penerjemahan klasik, teori ini menekankan prinsip bahwa sebuah hasil terjemahan harus memiliki hubungan kesepadanan dengan teks sumber. Catford (1969: 20) mendefinisikan penerjemahan sebagai penggantian materi teks dalam satu bahasa dengan materi teks yang sepadan dengan di bahasa lain. Menurut Newmark (1988: 7), penerjemahan adalah keahlian yang mencoba untuk menggantikan pesan tertulis dan/atau pernyataan dalam satu bahasa dengan pesan yang sama di bahasa lain. Pinhhuck (1977: 38) mendefinisikan penerjemahan sebagai suatu proses mencari padanan ungkapan BSu dalam ungkapan BSa. Sedangkan Nida dan Taber (1974: 5) menyatakan bahwa penerjemahan mencakup upaya mereproduksi makna (prioritas utama) dan gaya bahasa yang secara alamiah paling sepadan dengan yang terdapat dalam BSu ke dalam BSa. Menurut Nababan (2008), hubungan kesepadanan ini sering dianggap sebagai aspek terpenting dari sebuah terjemahan berkualitas.

Berbeda dengan konsepsi yang diungkapkan teori penerjemahan tradisional, yang menekankan menekankan bahwa tugas utama seorang penterjemah adalah memperoleh ungkapan BSa yang sepadan dengan ungkapan BSu melalui penguasaan linguistik BSu dan BSa (kompetensi bilingual), teori penerjemahan kontempoer menekankan bahwa untuk menghasilkan TSa yang baik, selain kompetensi bilingual, penterjemah juga harus memiliki kompetensi bikultural. Dengan kata lain, dia juga harus memahami aspek-aspek budaya yang terdapat dalam TSu sebagaimana penulis BSu memahaminya dan mampu mengungkapkan aspek-aspek itu dalam TSa agar pembaca BSa dapat memahaminya.

B. Esensi Aspek Budaya dalam Penerjemahan

Konsepsi yang menekankan esensi pemahaman lintas budaya—disamping kompetensi bilingual—dalam penerjemahan didasarkan pada pemikiran bahwa dalam setiap penerjemahan terlibat minimal dua bahasa dan dua budaya sekaligus (Toury dalam James, 2002). Semakin besar perbedaan-perbedaan antara BSu dan BSa, dalam kedua aspek tersebut, semakin tinggi pula tingkat kesulitan pemindahan makna atau pesan di antara kedua bahasa itu.

Kebenaran pemikiran ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa bahasa dan budaya merupakan dua entitas yang tidak terpisahkan. Ketika berkomunikasi melalui bahasa (termasuk melalui tulisan), setiap orang pasti melibatkan budayanya, yang meliputi nilai-nilai, keahlian, pegetahuan, norma-norma, sikap, motif, bahasa, maupun benda-benda material yang dimilikinya sebagai individu maupun anggota masyarakat. Karena penerjemahan juga melibatkan pemindahan pikiran dari satu bahasa (dan budaya) ke dalam ungkapan yang sepadan dalam suatu bahasa (dan budaya) lainnya, secara otomatis, aktivitas itu juga melibatkan proses pengodean (en-coding), pengodean kembali (de-coding), dan pengodean ulang (re-coding) aspek-aspek budaya (Karamanian, 2007). Keterlibatan ketiga proses ini didukung oleh Larson (1988, 2003: 3) dengan menyatakan proses penerjemahan berlangsung dalam tiga tahapan: (1) meneliti aspek-aspek linguistik (unsur-unsur kata, struktur tata-bahasa, dan konteks komunikasi) serta konteks budaya yang terdapat dalam TSu; (2) menganalisis aspek-aspek dan konteks tersebut untuk menentukan makna yang disampaikan TSu; dan (3) menuangkan makna tersebut melalui kata-kata, struktur tata-bahasa yang sesuai dengan konteks komunikasi dan budaya bahasa. sasaran (BSa).

Menurut Harianto (2002), pengabaian esensi pemahaman aspek-aspek budaya dalam teori-teori penerjemahan tradisional dapat dijelaskan dengan mengajukan dua alasan. Pertama, aktivitas penerjemahan yang dilakukan hingga tahun 1970-an didominasi oleh pengalihbahasaan teks-teks ilmiah dan teknis yang cenderung tidak melibatkan unsur-unsur budaya. Kedua, adanya pandangan linguistik tradisional yang membuat garis pemisah antara bahasa dan realitas ekstralinguistik (budaya), berbeda dengan pendekatan linguistik kontemporer yang memandang bahasa, sebagai media komunikasi, sebagai suatu bagian yang integral dari budaya. Sebagai contoh, Samovar, dkk. (1981: 3) menekankan bahwa budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan karena budaya tidak hanya mengatur siapa berbicara kepada siapa, apa yang dibicarakan, dan bagaimana komunikasi dilakukan, tetapi juga menentukan bagaimana orang mengodekan pesan, makna apa yang diperoleh dari pesan itu, pesan apa yang patut disampaikan atau diinterpretasikan dalam kondisi tertentu, Budaya adalah landasan seluruh komunikasi. Senada dengan itu, Brown(1987: 2003) menegaskan sebuah bahasa adalah bagian dari sebuah budaya dan sebuah budaya adalah bagian dari bahasa; keduanya terjalin demikian erat sehingga bila dipisahkan maka bahasa maupun budaya tersebut akan kehilangan makna.

Diskusi tentang esensi aspek budaya dalam penerjemahan di atas memperlihatkan bahwa pemahaman interkultural tidak terpisahkan dari aktivitas penerjemahan. Selama melakukan aktivitasnya, penterjemah tidak hanya berhadapan dengan perbedaan-perbedaan morfologis, sintaksis, semantis tetapi juga perbedaan-perbedaan kultural antara BSu dan BSa. Sehubungan dengan itu, dapat disimpulkan bahwa dalam penerjemahan, pemahaman interkultural dan penguasaan kedua bahasa yang digunakan sama-sama berperan penting dalam setiap proses penerjemahan. Ketidaktahuan penterjemah mengenai salah satu dari faktor-faktor itu akan menghasilkan terjemahan yang buruk.

C. Klasifikasi Aspek Budaya dalam Penerjemahan

Menyadari esensi pemahaman lintas budaya dalam penerjemahan, berbagai ahli bidang penerjemahan telah berupaya meneliti perbedaan-perbedaan kultural diantara berbagai bahasa. Hasil-hasil penelitian itu sangat membantu pengembangan prosedur-prosedur penerjemahan dalam rangka mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul akibat perbedaan-perbedaan budaya. Salah satu konsep yang dilandaskan pada hasil-hasil penelitian tersebut adalah konsep ‘cultural words’ yang diajukan Newmark (1988, 95-102). Konsep ini mengungkapkan bahwa dalam sebuah teks seluruh aspek budaya diungkapkan dalam ‘cultural words’ tersebut. Aspek-aspek tersebut dapat diterjemahkan dalam berbagai cara sesuai dengan perannya dalam teks dan tujuan penerjemahan. Untuk mempermudah pemahaman. aspek-aspek tersebut dibagi ke dalam kategori dan sub-kategori seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1: Lima Kategori Aspek Budaya Menurut Newmark

No

Kategori

Sub-Kategori / Elemen

1

Ekologi

flora, fauna, gunung, angin, daratan, dll.

2

Kebudayaan Material

makanan, pakaian, rumah, kota, sarana transportasi

3

Kebudayaan Sosial

pekerjaan, liburan

4

Organisasi, adat-istiadat, Aktivitas, Konsep-konsep, kepercayaan

Sistem pemerintahan, politik, nilai-nilai artistik, acara-acara keagamaan.

5

Kebiasaan dan bahasa tubuh

Gerak-gerik tubuh, kebiasaan

Meskipun secara substansi tidak berbeda dengan kategori yang ditawarkan Newmark, kategori yang disusun Ping (2005) terdiri dari empat kelompok seperti terlihat dalam table 2 berikut.

Tabel 2: Empat Kategori Aspek Budaya Menurut Ping

No

Kategori

Sub-Kategori / Elemen

1

Sitem Teknik dan Ekonomi

Ekologi (flora, fauna, gunung, angin, iklim, dll.), alat-alat produksi, perdagangan, pertanian, peternakan, industri, teknologi, sains, dan artefak.

2

Sistem Sosial

Kasta, kelas-kelas sosial, sistem kekerabatan (seks, pernikahan, pengasuhan anak, dll.), politik, hukum, pendidikan, olahraga, hiburan, adat-istiadat, dan sejarah.

3

Sistem Ide

Agama, folklor, nilai-nilai (moral, estetika, dll.), ideologi, pola-pola berpikir, dan kosmologi.

4

Sistem Linguistik

Fonologi dan bahasa tulis, tata-bahasa, semantik, dan pragmatik

Meskipun kategori yang dibuat Ping ini memiliki empat kelompok, namun elemen-elemennya lebih sesuai dengan aspek-aspek budaya dalam konteks masa kini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, penulis memutuskan untuk menggunakan kategori ini.

D. Prosedur Penerjemahan Aspek-Aspek Budaya

Yang dimaksud dengan prosedur penerjemahan adalah tahapan-tahapan yang harus ditempuh dalam melakukan penerjemahan. Menurut Nida (dalam Ordudari, 2007), prosedur penerjemahan dapat dibagi ke dalam dua tahapan utama: prosedur teknis dan prosedur pengorganisasian. Prosedur teknis terdiri dari tiga langkah. Pertama, menganalisis sistem BSu dan BSa untuk melihat perbedaan-perbedaan yang mungkin terdapat diantara keduanya.. Kedua, mempelajari TSu secara seksama untuk merencanakan strategi yang akan digunakan untuk menerjemahkan teks itu. Ketiga, melakukan pegalihan makna dari BSu ke dalam BSa dengan menerapkan strategi dan teknik yang tepat sambil tetap mempertimbangkan pencarian padanan yang paling tepat bagi setiap aspek semantis, sintaksis, dan kultural yang ditemukan. Prosedur pengorganisasian berhubungan pemeriksaan berulang untuk memastikan apakah hasil terjemahan sudah sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Uraian ini, mengindikasikan bahwa setiap penerjemahan tidak boleh dilakukan sekaligus, tetapi secara bertahap melalui langkah demi langkah di atas. Dalam praktik, prosedur tersebut dapat dilaksanakan secara bolak-balik, tidak harus linier.

Agak berbeda dengan pandangan di atas, menurut Newmark (1988: 7), prosedur penerjemahan merupakan teknik-teknik yang digunakan untuk menerjemahkan kalimat dan unit-unit kecil sebuah bahasa. Teknik-teknik itu meliputi: (1) penambahan struktur atau elemen-elemen kata sesuai dengan kebutuhan; (2) pengurangan unsur-unsur struktur atau elemen-elemen kata sesuai dengan kebutuhan; (3) penghilangan unsur-unsur yang tidak bermakna dalam BSa; dan (4) menyesuaikan isi pesan agar maknanya tetap sedekat mungkin dengan yang dimaksudkan penulis TSu.

E. Strategi/Teknik Umum Penerjemahan

Secara umum, strategi atau teknik penerjemahan didefinisikan sebagai metode yang digunakan penterjemah untuk mengatasi kendala-kendala yang ditimbulkan oleh adanya kesenjangan budaya antara BSu dan BSa. Dalam seluruh penerjemahan, baik penerjemahan teks ilmiah maupun sastra, terdapat tiga teknik utama yang lazim digunakan: (1) penambahan informasi; (2) pengurangan informasi; dan (3) penyesuaian struktural (transposisi). Berikut ini adalah penjelasan terhadap ketiga teknik yang sangat dibutuhkan terutama untuk menerjemahkan aspek-aspek budaya kategori sistem linguistik. Setelah itu, penjelasan diarahkan pada teknik-teknik yang digunakan khusus untuk mengatasi kendala-kendala yang ditimbulkan oleh adanya kesenjangan budaya antara BSu dan BSa,

(1) Penambahan Informasi

Dalam menerjemahkan, informasi yang tidak terdapat pada BSu dapat ditambahkan pada teks BSa. Menurut Newmark (1988: 91), informasi yang ditambahkan tersebut biasanya bersifat kultural (timbul karena perbedaan latar belakang budaya antara BS dan BT, teknikal (berhubungan dengan topik), atau linguistik (yang menjelaskan sifat kata yang arbitrer). Informasi yang ditambahkan tersebut bisa dimasukkan ke dalam teks dengan cara meletakkannya dalam tanda kurung, atau di luar teks (dengan menggunakan sebuah catatan kaki atau anotasi).

Adanya kemungkinan kebutuhan untuk mengubah makna implisit menjadi eksplisit merupakan penyebab lain diperlukannya penambahan informasi. Contoh yang diberikan Nababan (2008) menjelaskan hal ini dengan baik. Dalam suatu konteks, makna implisit kalimat “This rule is to round to the nearest even number” dapat dipahami pembaca teks asli dengan mudah. Namun bila kalimat itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, penambahan informasi “suatu angka yang berada pada dua batas kategori (a number lying between two categories) dan pengubahan jenis kata ‘dibulatkan’ (kata kerja aktif) menjadi ‘membulatkan’ perlu dilakukan untuk menghasilkan ungkapan yang benar secara gramatikal dan makna yang eksplisit bagi pembaca teks berbahasa Indonesia. Karena kata ‘membulatkan’ merupakan kata kerja transitif, sebuah objek diperlukan. Sehubungan dengan itu, kalimat di atas selengkapnya diterjemahkan menjadi: “Menurut aturan pembulatan ini, suatu angka yang berada pada batas dua kategori dibulatkan ke angka genap terdekat.” Jika diterjemahkan ulang ke dalam bahasa Inggris, kalimat itu menjadi: According to the rule, a number lying between two categories is rounded to the nearest even number.

Menurut Nida (DALAM Nababan, 2008), penambahan informasi juga dapat disebabkan oleh kemungkinan untuk mengubah jenis kata ketika mentransformasi kalimat pasif menjadi aktif atau sebaliknya, pasif menjadi aktif. Kata “cut” dalam “I cut my finger” merupakan kata kerja aktif. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata itu harus diubah menjadi kata passif “tersayat“ (was cut) dan penambahan kata-kata “oleh pisau” diperlukan untuk mengungkapkan bahwa hal itu terjadi karena kecelakaan.

(2) Pengurangan Informasi

Menurut Baker (1992: 40), pengurangan informasi dilakukan dengan menghilangkan sebuah unsur leksikal dalam rangka melakukan penyesuaian dengan pola tata-bahasa atau semantic BSa. Strategi ini mungkin terdengar agak drastis, tapi dalam konteks tertentu penghilangan sebuah kata atau ungkapan dalam menterjemahkan justru diperlukan untuk mempermudah pemahaman makna secara dalam BT. Sebagai contoh, kategori kata benda jamak dalam bahasa Ingris dipengauhi oleh faktor morfologis (seperti ‘child/children’, ‘mouse/mice’), dan factor fonologis (misalnya, ‘pen/pens’, ‘brush/brushes’, box/boxes’). Dalam kondisi tertentu, sebuah kata benda jamak juga diawali oleh sebuah penunjuk kejamakan, seperti ‘some novels’, ‘many children’, ‘six dogs’. Jika ‘ekspresi ganda’ seperti ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, redundansi akan terjadi. Dalam bahasa Indonesia, penjamakan dilakukan dengan pengulangan kata, seperti ‘buku-buku’, ‘kotak-kotak’ atau dengan menambahkan penunjuk kejamakan, seperti ‘beberapa buku’ atau ‘enam anjing’.

(3) Penyesuaian struktural (transposisi).

Penyesuaian struktural merupakan strategi penting lainnya yang digunakan untuk mencapai kesetaraan. Penyesuaian struktural, yang kadang-kadang disebut dengan istilah transposisi atau alterasi, merujuk pada suatu perubahan bentuk dalam aspek gramatikal dari BSu ke dalam BSa. Perubahan bentuk itu bisa terjadi dalam bentuk perbahan kategori kata, jenis kata, atau susunan kata.

Newmark (1988: 85-87) membagi perubahan bentuk itu menjadi empat tipe. Pertama, perubahan dari bentuk tunggal ke dalam bentuk jamak atau dalam posisi adjektiva. Dalam bahasa Inggris, posisi adjektiva, sebagai contoh, bisa sebelum kata benda (misalnya, ‘a good book’) atau sebelum dan sesudah sebuah kata benda (misalnya, ‘a good book available in the bookstore’). Dalam bahasa Indonesia, adjektiva selalu diletakkan sesudah nomina. always comes before a noun. Oleh karena itu, ‘a good book’ dan ‘a good book available in the bookstore’ harus diterjemahkan menjadi ‘sebuah buku bagus’ dan ‘sebuah buku bagus yang tersedia di toko buku itu’. Kedua, transposisi yang dilakukan karena BT tidak memiliki struktur gramatikal BS. Dalam bahasa Inggris, sebagai contoh, kata-kata penghubung seperti ‘ however’ dan ‘nevertheless’ dapat diletakkan di awal atau akhir kalimat. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata penghubung seperti itu selalu diletakkan di awal sebuah kalimat. Ketiga, perubahan yang dilakukan bila terjemahan literal sudah benar secara gramatikal namun tidak sesuai dengan penggunaan bahasa secara natural. Sebagai contoh, kalimat “The man to whom she is talking on the phone is his younger brother who lives in Bogor” dapat diterjemahkan secara literal menjadi: “Laki-laki kepada siapa dia sedang berbicara di telepon adalah adiknya yang tinggal di Jakarta.” Terjemahan ini akurat di sisi isi tapi tidak sesuai dengan bahasa yang lazim. Oleh karena itu, terjemahan itu perlu disesuaikan menjadi: “Laki-laki yang sedang berbicara dengannya di telpon adalah adiknya yang tinggal di Jakarta. Keempat, perubahan yang dilakukan dengan cara menggantikan kekosongan leksikal virtual dengan sebuah stuktur gramatikal.

Selain keempat jenis transposisi di atas, penggantian jenis kata (yaitu perubahan dari suatu jenis kata ke jenis kata lainnya, atau dari kata menjadi frasa atau klausa) juga dibutuhkan karena adanya berbagai perbedaan gramatikal antara BS dan BT. Sebagai contoh, untuk menterjemahkan kalimat “The girl in red is my sister” ke dalam bahasa Indonesia, frasa ‘in red’ harus diubah menjadi sebuah klausa adjektiva “yang berbaju merah”. Untuk menterjemahkan kalimat “She is married with three young girls”, preposisi “with” karus diganti menjadi kata sambung “dan” dan kata kerja ‘mempunyai” perlu ditambahkan.

F. Teknik Khusus Penerjemahan Aspek-Aspek Budaya

Khusus untuk mengatasi kendala-kendala yang ditimbulkan oleh adanya kesenjangan budaya antara BSu dan BSa, Newmark (dalam Mizani, 2005) menyarankan penggunaan tujuh teknik berikut untuk menerjemahkan terminlogi-terminologi bermuatan budaya yang ditemukan: (1) naturalisasi, (2) ‘couplet’ atau ‘triplet’ dan ‘quadruplet’, (3) netralisasi atau generalisasi, (4) penerjemahan deskriptif, (5) penjelasan dengan anotasi, (6) penyetaraan kultural, dan (7) kompensasi. Dalam beberapa poin, ketujuh strategi ini tumpang tindih dengan tiga strategi umum yang telah dijelaskan di atas. Berikut ini adalah penjelasan tentang ketujuh teknik tersebut.

(1) Naturalisasi

Teknik naturalisasi dilakukan dengan menyerap ‘cultural words’ dari BSu sambil melakukan penyesuaian bunyi maupun ejaannya. Hal ini dilakukan bila kata tersebut tidak ditemukan padanannya dalam BSa, dan pesan atau makna yang dimaksudkan penulis BS perlu dipertahankan. Sebagai contoh, istilah “amputation” dan “winkel” (Belanda) diserap menjadi “amputasi” dan “bengkel”.

(2) ‘Couplet’ atau ‘triplet’ dan ‘quadruplet’

Ketiga teknik ini dilakukan dengan mengkombinasikan beberapa teknik berbeda sekaligus: ‘couplet’ mengkombinasikan dua teknik (misalnya, naturalisasi dengan penerjemahan deskriptif); ‘triplet’, tiga teknik; dan ‘quadruplet’, empat teknik untuk menterjemahkan sebuah istilah yang bermasalah.

(3) Netralisasi atau generalisasi

Teknik ini dilakukan dengan mengganti kata BSu yang bermakna lebih sempit dengan kata BSa dengan makna lebih luas. Dengan kata lain, netralisasi merupakan teknik parafrasa dalam tingkatan kata. Sebagai contoh, kata “shot” dalam kalimat “When shot, she was apparently taking a walk” dapat diparafrasa menjadi “terbunuh” dalam bahasa Indonesia.

(4) Penerjemahan deskriptif dan fungsional

Teknik ini digunakan untuk menjelaskan aspek-aspek kultural dengan cara menguraikan ukuran, warna, dan komposisi (deskriptif) atau aspek manfaat unsur kultural tersebut (fungsional). Sebagai contoh, istilah “celengan” bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “a box made of soil or plastic, designed in the form of an animal for saving money”.

(5) Penjelasan dengan anotasi

Penjelasan dengan anotasi adalah teknik yang dilakukan dengan cara memberi penjelasan tambahan tentang aspek-aspek kultural tertentu bagi sebuah terminologi melalui catatan kaki.

(6) Penyetaraan kultural

Teknik penyetaraan kultural dilakukan dengan menterjemahkan sebuah ‘cultural word’ ke dalam kata yang sepadan dalam BSa. Sebagai contoh, istilah “selamatan” dalam kalimat “Dalam masyarakat Jawa bila seseorang wanita atau istri sedang hamil, menurut tradisi perlu diadakan bermacam-macam selamatan dan upacara-upacara lainnya” dapat diterjemahkan menjadi ‘traditional fiest’ dalam bahasa Inggris.

(7) kompensasi

Teknik kompensasi digunakan untuk mengatasi hilangnya makna tertentu, efek bunyi, efek pragmatik, atau metaphor dalam salah satu bagian sebuah teks. Sebagai contoh, kata “damned” dalam kalimat “He is a damned fool guy.” bisa diterjemahkan menjadi ‘sangat’.

F. Penerjemahan Novel

Novel merupakan karya sastra yang mengungkapkan cerita bersifat fiktif dengan menggunakan unsur-unsur tokoh, alur, latar dan gaya bahasa untuk mengungkapkan tema tertentu. Novel diminati banyak kalangan pembaca karena ceritanya yang menarik, bahasanya yang lugas, dan isinya yang terkesan realistis karena mengungkapkan hal-hal yang sangat dekat dengan realita. Sebagai karya imajinatif, novel digunakan penulis untuk mengekspressikan pikiran dan perasaannya.

Menerjemahkan novel bukanlah pekerjaan yang mudah. Apabila tidak dilakukan dengan hati-hati, penterjemah bisa terjerumus ke dalam penerjemahan kalimat per kalimat. Akibatnya, meskipun terlihat bagus dan runtut, secara keseluruhan TSa yang dihasilkan tidak mengungkapkan pesan seperti yang diamanatkan naskah aslinya dan tidak enak dbaca.

Agar dapat menerjemahkan novel, penterjemah harus menguasai paling tidak tiga hal, yaitu: aspek-aspek linguistik TSu dan TSa, aspek-aspek budaya yang terkandung di novel, dan kemahiran bercerita. Kemampuan ketiga ini diperlukan karena yang diterjemahkan adalah cerita. Tanpa kemahiran ini, Tsa yang dihasilkan akan terasa kaku dan tidak enak dibaca.

Menurut Belloc (dalam Bassnett-McGuire), penterjemah prosa fiksi harus mematuhi enam aturan umum berkut. Pertama, penterjemah tidak boleh hanya menerjemahkan kata per kata atau kalimat per kalimat, tetapi harus mempertimbangkan karya itu secara keseluruhan. Kedua, Penterjemah harus menerjemahkan idiom dalam BSu menjadi idiom dalam BSa. Ketiga, penterjemah harus menerjemahkan “maksud” (mencakup muatan emosi atau perasaan yang dikandung oleh ekspresi tertentu) dalam BSu menjadi “maksud” dalam BSa. Keempat, penterjemah harus waspada terhadap kata-kata atau struktur yang kelihatannya sama dalam BSu dan BSa, tetapi sebenarnya sangat berbeda. Kelima, penterjemah harus berani mengubah segala sesuatu yang perludiubah dari BSu ke dalam BSa dengan tegas. Keenam, penterjemah tidak boleh membumbui cerita aslinya dengan “hiasan-hiasan” ang bisa membuat cerita dalam BSa lebih buruk atau lebih indah dari cerita dalam BSu.

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan untuk memperoleh data-data empiris tentang hal-hal berikut:

1. Jenis-jenis terminologi bermuatan budaya yang berimplikasi terhadap proses penerjemahan Animal Farm ke dalam bahasa Indonesia.

2. Teknik-teknik yang digunakan untuk menerjemahkan terminologi-terminologi bermuatan budaya sewaktu melaksanakan penerjemahan Animal Farm ke dalam bahasa Indonesia.

F. Tempat dan Waktu Penelitian

Sebagai sebuah penelitian deskriptif yang menggunakan sebuah novel sebagai objek penelitian, penelitian ini dapat digolongkan sebagai sebuah penelitian kepustakaan (library research). Oleh karena itu, penelitian ini dapat dilaksanakan di berbagai tempat, khususnya di berbagai perpusakaan perguruan tinggi di Jakarta. Sedangkan waktu pelaksanaannya direncanakan berlangsung dalam waktu enam bulan.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus, sebuah varian dari metode etnografi, yang oleh Cresswell (2008: 476) didefinisikan sebagai ekplorasi mendalam terhadap sebuah suatu sistem tertutup atau bounded system (seperti aktivitas, kejadian, proses, atau individu-individu) yang didasarkan pada penjaringan data ekstensif. Dalam penelitian ini, metode studi kasus digunakan untuk mengeksplorasi novel asli dan hasil terjemahan Animal Farm sebagai suatu sistem tertutup (bounded system) untuk mengidentifikasi terminologi-terminologi (kata-kata, frasa-frasa, dan klausa-klausa) bermuatan budaya yang berimplikasi terhadap proses penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia dan menganalisis bagaimana terminologi-terminologi itu diterjemahkan.

H. Unit Analisis

Karena terminologi-terminologi bermuatan budaya yang dianalisis dalam penelitian ini diidentifikasi dari keseluruhan TSu (novel asli) dan Tsa (hasil terjemahannya) maka satuan kajian penelitian ini adalah novel asli Animal Farm yang diterbitkan di London oleh English Language Book Society pada tahun 1971, yang ditulis dalam10 bab dan terdiri dari 120 halaman, dan dan hasil terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

I. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, yang berperan sebagai penjaring, pengorganisasi, dan penganalisis data. Untuk membantu peneliti dalam penjaringan dan sistematisasi data, penulis menggunakan alat-alat tulis maupun kartu-kartu data.

J. Teknik Pengumpulan Data

Karena sumber data dalam penelitian ini adalah dokumen berupa novel Animal Farm dan hasil terjemahannya, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik kajian isi (content analysis) yang dilaksanakan dengan cara mengidentifikasi, menjaring, dan mengklasifikasikan terminologi-terminologi bermuatan budaya (dalam novel asli) dan terjemahan masing-masing terminologi dalam bahasa Indonesia (dalam eks terjemahan).

K. Teknik Analisis Data

Data-data yang telah dikumpulkan dan diorganisasikan dianalisis dengan menggunakan teknik teknik kajian isi (content analysis). Analisis diarahkan untuk melihat teknik/strategi penerjemahan yang digunakan dalam menerjemahkan setiap terminologi ke dalam bahasa Indonesia. Teori tentang teknik yang digunakan sebagai landasan analisis adalah teknik-teknik penerjemahan yang sudah diakui keabsahannya secara universal, khususnya ketujuh teknik yang disarankan Newmark (dalam Mizani, 2008), yang mencakup: (1) naturalisasi, (2) ‘couplet’ atau ‘triplet’ dan ‘quadruplet’, (3) netralisasi atau generalisasi, (4) penerjemahan deskriptif, (5) penjelasan dengan anotasi, (6) penyetaraan kultural, dan (7) kompensasi.

L. Prosedur Penelitian

Berdasarkan uraian-uraian di atas, secara umum, penelitian ini dilaksanakan dengan prosedur berikut:

1. Membaca novel Animal Farm berulang-ulang untuk memperoleh pemahaman mendalam terhadap novel secara umum dan terminologi-terminologi bermuatan budaya secara khusus sambil merencanakan strategi yang akan digunakan untuk menerjemahkan teks itu

2. Menerjemahkan novel Animal Farm ke dalam bahasa Indonesia sambil menandai terminologi-terminologi bermuatan budaya yang ditemukan dan teknik apa yang digunakan untuk menerjemahkan terminologi-terminologi tersebut.

3. Meminta sepuluh orang (5 akademisi bahasa dan 5 penggemar novel) membaca dan mengomentari hasil terjemahan tersebut untuk melihat apakah hasil terjemahan itu sudah cukup baik.

4. Mengobservasi dan membandingkan kedua teks (novel Animal Farm dan terjemahannya) untuk mengidentifikasi terminologi-terminologi bermuatan budaya (dalam novel asli) dan terjemahan masing-masing (dalam teks terjemahan).

5. Mengorganisasikan terminologi-terminologi bermuatan budaya (dan terjemahan masing-masing) yang ditemukan ke dalam tabel data sesuai dengan kategori masing-masing, yang disusun berdasarkan sistem pengkategorian Ping (dalam Mizani, 2007) seperti terlihat pada tabel-tabel dibawah ini)

6. Menganalisis dan mendiskripsikan teknik/strategi penerjemahan yang digunakan dalam menerjemahkan setiap terminologi ke dalam bahasa Indonesia.

7. Menulis Laporan Penelitian.

Tabel Data Kategori Sitem Teknik dan Ekonomi

NO

TERMINOLOGI (DAN HALAMAN LOKASI)

TEKNIK PENERJEMAHAN

INGGRIS

INDONESIA













Tabel Data Kategori Sitem Sosial

NO

TERMINOLOGI (DAN HALAMAN LOKASI)

TEKNIK PENERJEMAHAN

INGGRIS

INDONESIA













Tabel Data Kategori Sitem Ide

NO

TERMINOLOGI (DAN HALAMAN LOKASI)

TEKNIK PENERJEMAHAN

INGGRIS

INDONESIA













Tabel Data Kategori Sitem Linguistik

NO

TERMINOLOGI (DAN HALAMAN LOKASI)

TEKNIK PENERJEMAHAN

INGGRIS

INDONESIA













DAFTAR ACUAN

Adewuni, Salawu “Narrowing the Gap between Theory and Practice of Translation”, 2006 (Diunduh pada tanggal 10 Desember 2008 dari: http://accurapid.com/ journal/36yoruba.htm).

Alkiviadou, Natalie dan Martin Nordal. Animal Farm: The Book, 2003. (Diunduh pada tanggal 22 Oktober 2008 dari: http://www.animal-farm.8k.com)

Altenbernd, Lynn and Leslie L. Lewis. A Handbook for the Study of Fiction. New York: The Macmillan Company, 1966.

Baker, M..In Other Words: A Coursebook on Translation. (London: Sage Publication, 1992) p. 40.

Bassnett-McGuire. Translation Studies. New York: Mathuen & Co. Ltd, 1980.

Brown, H. Douglas. Principles of Language Learning and Teaching (2nd. ed.). New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1987.

Catford, J.C. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press, 1969.

Creswell, John W. Educational Research: Planning, Conducting, and

Evaluating Quantitative and Qualitative Research. New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2008.

Hariyanto, Sugeng. “The Implication of Culture on Translation Theory and Practice”. (2002). (Diunduh pada tanggal 8 Oktober 2008 dari: www.TranslationDirectory.com)

James, Kate. “Cultural Implications for Translation”, 2002. (Diunduh pada tanggal 10 Desember 2008 dari: http://accurapid.com/journal/ 22delight.htm.)

Karamanian, Alejandra Patricia. “Translation and Culture”, 2007. (Diunduh pada tanggal 12 Januari 2009 dari: http://www.transplore.com/article-topic-5.html)

Larson, Mildred L. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-Language Equivalence. Lanham, MD: University Press of America and Summer Institute of Linguistics, 1998.

Mizani, Samira. ”Cultural Translation” (2005). (Diunduh pada tanggal 8 Oktober 2008 dari: http://accurapid.com/journal/22delight.htm).

Nababan, M.R. “Equivalence in Translation: Some Problem-Solving Strategies”, 2008. (Diunduh pada tanggal 10 Desember 2008 dari: ProZ.com Translation Article Knowledgebase.)

Newmark, Peter. A Textbook of Translation. New York: Prentice-Hall International, 1988 (a).

_______. Approaches to Translation. Oxford: Pergamon Press, 1988 (b).

Nida, Eugene A. and Charles R. Taber.The Theory and Practice of Translation. Leiden: E.J. Brill, 1974.

Ordudari, Mahmoud “Translation Procedures, Strategies And Methods” (2007). (Diunduh pada tanggal 8 Oktober 2008 dari: http://translationjournal.net/journal/ 41culture.htm).

Orwell, George. Animal Farm. New York: Penguin Group, 1971.

_______ “Why I Write”, 1947. (Diunduh pada tanggal 22 Oktober 2008 dari: http://www .animal-farm.8k.com/summary.htm)

Pinchuck, I. Scientific and Technical Translation. Andre Deutsch, 1977.

Rosi, Mauro. “UNESCO's programmes in favour of literary translation: history and perspectives”. UNESCO, 2005. (Diunduh pada tanggal 6 Desember 2008 dari: http://portal.unesco.org/en/ev.php@URL_ID= 13482&URL_DO=DO_TOPIC&URL_SECTION=201.html)

Soman, Ebey, “The Russian Revolution Symbolism”, 2007. (Diunduh pada tanggal 22 Oktober 2008 dari: http://www.bookstove.com /writers/Ebey%20 Soman.9806).

Sugono, Dendy dkk. Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2007.

Samovar, L., Porter, R. & Jain, N. 1981. Understanding Intercultural Communication. Belmont, CA: Wadsworth.