Friday, January 23, 2009

PENELITIAN GROUNDED THEORY

Parlindungan Pardede



Pendahluan
Penelitian Grounded Theory (GT) adalah metode penelitian kualitatif yang menggunakan sejumlah prosedur sistematis yang diarahkan untuk mengembangkan teori berorientasi tindakan, interaksi, atau proses dengan berlandaskan data yang diperoleh dari kancah penelitian. Metode penelitian ini masih tergolong baru dan pada awalnya digunakan dalam sosiologi. Namun metode ini berkembang pesat dan telah digunakan dalam berbagai disiplin ilmu. Makalah ini membahas konsep-konsep pokok tentang Penelitian GT, yang diawali dengan mengemukakan latar belakang, perkembangan dan pengertian tentang penelitian GT sebagai pengantar. Setelah itu, pembahasan dilanjutkan dengan pemaparan tentang ciri-ciri pokok metode GT dan prosedur pelaksanaan sebuah penelitian GT. Pembahasan ditutup dengan menarik beberapa kesimpulan yang didasarkan pada pemaparan pada bagian-bagian sebelumnya.

Latar Belakang GT
Penelitian GT dikembangkan pertama kali pada tahun 1960s oleh dua sosiologis, Barney Glaser and Anselm Strauss berdasarkan penelitian yang mereka lakukan pada pasien-pasien berpenyakit akut di Rumah Sakit Universitas California, San francisco. Catatan-catatan dan metode penelitian yang digunakan dipublikasikan dan menarik minat banyak orang untuk mempelajarinya. Sebagai respon, Glaser dan Strauss menerbitkan The Discovery of Grounded Theory (1967), buku yang menjelaskan prosedur metode GT secara terperinci. Hingga saat ini, buku ini diterima sebagai peletetak konsep-konsep mendasar GT. Dalam buku ini, Glaser dan Strauss mengkritisi pendekatan-pendekatan penelitian sosiologi yang menekankan verifikasi dan pengujian teori-teori. Menurut mereka, penelitian seharusnya memunculkan konsep-konsep (variabel) dan hipotesis berdasarkan data-data nyata yang ada di lapangan: “de-emphasis on the prior step of discovering what concepts and hypotheses are relevant for the area one wished to research. ...In social research generating theory goes hand in hand with verifying it; but many sociologists have diverted from this truism in their zeal to test either existing theories or a theory that they have barely started to generate” (Glaser & Strauss, 1967: 1-2). Sebuah teori yang ditemukan selama penjaringan data akan sangat sesuai dengan kumpulan data tadi. Jadi, teori yang dibangun oleh GT sangat kontras dengan teori yang diturunkan secara deduktif dari grand theory, tanpa bantuan data dan sering kali tidak pas dengan data manapun.
Ide-ide yang terkandung dalam The Discovery of Grounded Theory merefleksikan latar belakang keahlian kedua pengarang yang cukup berbeda. Glaser merupakan lulusan Columbia University yang berafiliasi pada penelitian quantitatif, khususnya pengembangan teori secara induktif berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif. Pengaruh perspektif induktif terlihat pada penekanan perumusan teori berdasarkan perspektif parisipan yang diteliti. Strauss merupakan lulusan Universitas Chicago yang terkenal dengan tradisi penelitian lapangan kualitaif. Latar belakang ini terungkap pada penekanan Strauss terhadap peneltian lapangan yang dilakukan dengan cara menemui dan secara seksama mendegarkan penuturan individu-individu yang diteliti.
Setelah penerbitan The Discovery of Grounded Theory, baik Glaser maupun Strauss menulis berbagai buku masing-masing untuk mengembangkan metode GT. Bekerjasama dengan Juliet Corbin, pada tahun 1990 dan 1998 Strauss mengembangkan prosedur dan teknik GT yang kemudian dikenal dengan desain sistematik, dengan bentuk yang lebih preskriptif, dengan kategori-kategori yang telah ditentukan dan penekanan pada validitas dan reliabilitas data. Desain sistematik ini menekankan penggunaan tiga fase analisis data yang dimulai dengan pengodean terbuka (open coding), pengodean poros (axial coding), dan pengodean selektif (selective coding) dan pengembangan suatu paradigma logis atau gambaran visual dari teori yang diturunkan.
Meskipun desain sistematik diadopsi oleh para peneliti kualitatif, beberapa poin dalam pendekatan ini mendapat kritikan. Glaser menyoroti penekanan yang berlebihan terhadap aturan dan prosedur, kerangka kerja yang kaku, dan kecenderungan verifikasi teori (bukan penyusunan teori) yang terdapat dalam desain tersebut. Menurut Glaser, tujuan utama peneliti GT adalah untuk menjelaskan “proses sosial dasar” dengan cara memunculkan teori dari data, bukan hanya sekedar menggunakan kategori-kategori yang telah ditentukan seperti tergambar pada desain sistematik, terutama pada langkah pengodean poros. Sebagai alternatif, Glaser mengajukan desain emerging yang menekankan penggunaan teknik pembandingan berkesinambungan (constant comparative) antara kejadian dengan kejadian, kejadian dengan kategori, dan kategori dengan kategori sebagai inti analisis data. Bagi Glaser, fokus utama GT adalah menghubungkan kategori-kategori dan memunculkan teori, bukan hanya sekedar menggambarkan teori.pada tahap akhir, peneliti membangun dan mendiskusikan hubungan antar seluruh kategori tanpa menghubungkannya dengan diagram atau gambar (Creswel, 2008: 438)
Pengembang metode GT yang lain, Charmaz (dalam Creswel, 2008: 439), menyatakan bahwa desain yang disusun Straus dan Glaser terlalu kaku dengan prosedur pengumpulan fakta dan penjelasan tindakan sehingga makna yang dinyatakan oleh partisipan dalam penelitian bisa terabaikan. Menurut Charmaz, peneliti GT perlu menggunakan strategi-strategi yang lebih fleksibel dalam rangka ‘menangkap’ dan menjelaskan pandangan, nilai-nilai, kepercayaan, perasaan, asumsi, dan ideologi individu sewaktu mereka menjalani sebuah fenomena atau proses. Berdasarkan pandangan-pandangannya itu, Charmaz menyusun desain konstruktivis yang memberi penekanan pada makna yang diungkapkan oleh partisipan dalam penelitian. Desain ini dilakukan dengan cara menjelaskan perasaan-perasaan masing-masing partisipan sewaktu mereka menjalani sebuah fenomena. Desain ini juga menjelaskan keyakian dan nilai-nilai peneliti tapi mencegah kategori-kategorinyang telah ditentukan, sebagaimana halnya terjadi dalam desain sistematik. Laporan penelitian ditulis terutama dalam bentuk penjelasan yang logis serta, secara mendalam, mengupas asumsi-asumsi dan makna yang diungkapkan masing-masing partisipan yang diteliti.

Pengertian GT
GT merupakan metodologi penelitian kualitatif yang berakar pada kontruktivisme, atau paradigma keilmuan yang mencoba mengkontruksi atau merekontruksi teori atas suatu fakta yang terjadi di lapangan berdasarkan pada data empirik. Kontruksi atau rekontruksi teori itu diperoleh melalui analisis induktif atas seperangkat data emik berbentuk korpus yang diperoleh berdasarkan pengamatan lapangan. Hal ini didukung Borgatti (1990) dengan menjelaskan bahwa frasa "grounded theory", nama yang diberikan kepada GT, merujuk pada “theory that is developed inductively from a corpus of data”. Data-data yang dianalisis merupakan emik karena data-data itu diperoleh berdasarkan penuturan, tindakan, dan pengalaman para partisipan. Data-data itu kemudian diidentifikasi, diberi kode, dikategorikan, dan secara konstan dibandingkan satu dengan yang lain. Jika analisis dilakukan dengan baik, teori yang diperoleh akan sangat sesuai dengan fenomena yang diteliti (atau dijadikan sebagai sumber data). Dengan kata lain, ide pokok pendekatan GT adalah analisis kualitatif data lapangan yang dilakukan dengan membaca seperangkat teks (catatan lapangan, transkrip wawancara, atau dokumen-dokumen yang relevan) secara seksama (bila perlu berulang-ulang) untuk menemukan konsep-konsep atau kategori-kategori dan hubungan antar konsep maupun kategori tersebut.
Teori yang dihasilkan melalui GT merupakan teori substantif, bukan teori formal. Teori substansi adalah teori yang dibangun dari data berdasarkan wilayah substansi penelitian. Sedangkan teori formal menjangkau berbagai subtansi penelitian. Meskipun demikian, penelitian GT bisa saja menghasilkan teori formal, tapi prosesnya dilakukan bertahap dan membutuhkan analisis yang cermat. Jika suatu teori telah berlaku secara valid pada suatu substansi, teori itu bisa dikembangkan pada substansi yang lebih luas atau substansi lain, sampai menghasilkan teori formal.
Tujuan penelitian GT adalah merekonstruksi teori-teori yang digunakan untuk memahami fenomena. Elliott dan Lazenbatt (2005) mengatakan: “With its origins in sociology, grounded theory emphasises the importance of developing an understanding of human behaviour through a process of discovery and induction rather than from the more traditional quantitative research process of hypothesi testing and deduction.” Oleh karena itu, GT sesuai digunakan dalam rangka menjelaskan fenomena, proses atau merumuskan teori yang umum tentang sebuah fenomena yang tidak bisa dijelaskan dengan teori yang ada. Haig (1995) mengatakan bahwa meskipun GT pada awalnya diterapkan dan dikembangkan di bidang sosiologi, metode ini dapat dan telah digunakan dengan baik di berbagai disiplin ilmu, seperti pendidikan, keperawatan, ilmu politik, dan psikologi. Khusus di bidang pendidikan, Creswell (2008: 432) mengatakan bahwa GT sangat sesuai digunakan untuk meneliti proses pengembangan kemampuan menulis di kalangan siswa atau proses pengembangan karir di kalangan wanita Amerika-Afrika dan Kaukasia yang berprestatsi tinggi. GT juga sesuai digunakan untuk meneliti tindakan manusia, seperti proses keikutsertaan para peserta yang mengikuti kelas-kelas pendidikan orang dewasa, atau untuk meneliti interaksi antar individu, seperti dukungan yang diberikan para pejabat sebuah jurusan kepada para peneliti fakultas.

Ciri-Ciri Utama Penelitian Grounded Theory

Seperti terungkap dari paparan latar belakang di atas, penggunaan dan pengembangan di berbagai disiplin ilmu membuat GT terbagi dalam tiga pendekatan. Meskipun demikian, ketiga pendekatan itu, dan juga desain-desain yang diterapkan secara khusus dalam berbagai bidang ilmu, tetap menggunakan konsep dasar dalam The Discovery of Grounded Theory sebagai titik tolak (Goulding, 1999). Oleh sebab itu, untuk memahami GT secara lebih komprehensif, elemen-elemen yang terkandung dalam setiap pendekatan perlu dikaji secara seksama. Menurut Creswell (2008: 440), enam karakteristik berikut merupakan elemen-elemen yang terdapat dalam berbagai pendekatan GT, termasuk desain sistematik, 'emerging' dan 'kostruktivis'.
1. Pendekatan Proses
Meskipun para peneliti GT dapat mengarahkan studi mereka pada sebuah ide, seperti keahlian menerjemahkan novel atau kemahiran berpidato, mereka lebih mengarahkan penelitian terhadap proses yang berhubungan dengan sebuah topik substantif. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa setiap fenomena sosial merupakan hasil proses tindakan atau interaksi antar individu. Dalam penelitian GT, proses merujuk pada urutan tindakan-tindakan dan interaksi antar manusia dan peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan sebuah topik, seperti pengalihbahsaan novel Animal Farm ke dalam bahasa Indonesia. Dalam topik seperti ini, berdasarkan transkrip wawancara atau catatan pengamatan yang dilakukan pada partisipan, peneliti GT dapat mengidentifikasi dan mengisolasi tindakan-tindakan dan interaksi antar manusia, seperti interaksi antara penerbit dan penterjemah pada saat negoisasi, tindakan-tindakan yang dilakukan penterjemah selama proses pengalihbahasaan, dan sebagainya. Aspek-paspek yang diisolasi ini disebut kategori-kategori, yang digunakan sebagai tema-tema informasi dasar dalam rangka memahami suatu proses. Borgatti (1990) menekankan pemusatan perhatian GT terhadap dengan mengatakan “…process is vital….” karena GT berhubungan dengan penggambaran dan pengodean hal-hal yang dinamis—sedang berubah, sedang bergerak, dan sedang berlangsung—di kancah penelitian.
Dalam penelitian GT, kategori-kategori atau tema-tema diberi label dalam bentuk kode in vivo, yaitu label dari kategori-kategori yang diungkapkan dengan menggunakan kata-kata asli partisipan bukan dalam bentuk ungkapan peneliti atau terminologi ilmiah yang baku. Kata-kata itu diidentifikasi peneliti dengan mengkaji transkrip-transkrip wawancara atau catatan lapangan dalam rangka melokalisir ungkapan partisipan yang berhubungan dengan kategori yang dimaksud. Sebagai contoh, untuk menungkapkan bahwa buku hasil terjemahannya sangat laris, partisipan mungkin menggunakan istilah 'meledak di pasaran'. Dengan menggunakan kode in vivo, peneliti akan menggunakan label “meledak di pasaran” untuk kategori tersebut.

2. Penyampelan Teoritik
Sebagaimana lazimnya dalam penelitian kualitatif, instrumen pengumpul data penelitian GT adalah peneliti sendiri. Data-data yang dikumpulkan dapat berbentuk transkrip wawancara, percakapan, catatan wawancara, dokumen-dokumen publik, buku harian dan jurnal responden, dan catatan reflektif peneliti (Charmaz, dalam Creswell, 2008: 442) . Proses pengumpulan data itu dilaksaakan dengan mengunakan ada dua metode secara simultan, yaitu observasi dan wawancara mendalam (depth interview). Bentuk data yang paling sering digunakan berbagai peneliti adalah hasil wawancara karena data seperti ini lebih mampumengungkapkan pengalaman responden dalam kata-kata mereka sendiri. Hal inilah yang mendorong Borgatti (1990) menyimpulkan bahwa GT sangat dipengaruhi dan menekankan pemahaman dunia secara emik. Dia menyatakan: ”... grounded theorists are concerned with or largely influenced by emic understandings of the world: they use categories drawn from respondents themselves and tend to focus on making implicit belief systems explicit.”
Hal yang spesifik yang membedakan pengumpulan data pada penelitian GT dari pendekatan kualitatif lainnya adalah pada pemilihan fenomena yang dikumpulkan. Paling tidak, pada GT sangat ditekankan untuk menggali data perilaku yang sedang berlangsung (life history) untuk melihat prosesnya serta ditujukan untuk menangkap hal-hal yang bersifat kausalitas. Seorang peneliti Grounded Theory selalu mempertanyakan "Mengapa suatu kondisi terjadi?", "Apa konsekwensi yang timbul dari suatu tindakan/reaksi?", dan "Seperti apa tahap-tahap kondisi, tindakan/reaksi, dan konsekwensi itu berlangsung?”
Dalam GT, masalah sampel penelitian tidak didasarkan pada jumlah populasi, melainkan pada keterwakilan konsep dalam beragam bentuknya. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara penyampelan teoritik, yaitu penyampelan yang dilakukan “… in order to discover categories and their properties, and to suggest their interrelationship into a theory” (Glaser and Strauss, 1980: 62). Dengan kata lain, penyampelan teoritik merupakan pengambilan sampel yang dilakukan peneliti dengan cara memilih data-data atau konsep-konsep yang terbukti berhubungan dengan dan mendukung secara teoritik teori yang sedang disusun. Tujuannya adalah mengambil sampel peristiwa/fenomena yang menunjukkan kategori, sifat, dan ukuran yang secara langsung menjawab masalah penelitian. Sebagai contoh, jika peneliti sedang meneliti "tingginya kecenderungan penerbitan novel-novel horror terjemahan", penikmat (pembaca) novel-novel horor merupakan kandidat yang paling sesuai untuk diwawancarai. Penterjemah, penerbit, dan kritisi sastra memang dapat dijadikan sumber informasi yang relevan, namun peran mereka tidakbegitu sentral karena penerbitan bahan bacaan sangat ditentukanoleh konsumen (pembaca).
Paparan ini mengungkapkan bahwa pada dasarnya yang di sampel dalampenelitian GT bukan obyek formal penelitian (orang atau benda-benda), melainkan obyek material yang berupa fenomena-fenomena yang sudah dikonsepkan. Akan tetapi, karena fenomena itu melekat dengan subyek (orang atau benda), maka dengan sendirinya obyek formal juga ikut disampel dalam peroses pengumpulan atau penggalian fenomena.
Berkenaan dengan proposisi terakhir, pada hakikatnya fenomena yang telah terpilih itulah yang dicari atau digali oleh peneliti selama mengumpulkan data. Karena fenomena itu melekat dengan subyek yang diteliti, maka jumlah subyek pun terus bertambah sampai tidak ditemukan lagi informasi baru yang diungkap oleh beberapa subyek yang terakhir. Itulah sebabnya, penentuan sampel subyek dalam penelitian GT, seperti halnya penelitian kualitatif pada umumnya, tidak dapat direncanakan dari awal. Subyek-subyek yang diteliti secara berproses ditentukan di lapangan, kaetika pengumpulan data berlangsung. Cara penyampelan inilah yang disebut dalam penelitian kualitatif sebagai snow bowl sampling.
Sesuai dengan tahap pengkodean dan analisis data, penyampelan dalam GT diarahkan dengan logika dan tujuan dari tiga jenis dasar prosedur pengkodean. Ada tiga pola penyampelan teoritik, yang sekaligus menandai tiga tahapan kegiatan pengumpulan data; (a) penyampelan terbuka, (b) penyampelan relasional dan variasional, serta (c) penyampelan pembeda. Penyampelan ini bersifat kumulatif (penyampelan terdahulu menjadi dasar bagi penyampelan berikutnya) dan semakin mengerucut sejalan dengan tingkat kedalaman fokus penelitian. Berikut ini adalah penjelasan singkat tentang ketiga penyampelan tersebut.

(a) Penyampelan terbuka bertujuan untuk menemukan data sebanyak mungkin sepanjang berkenaan dengan rumusan masalah yang dibuat pada awal penelitian. Karena pada tahap awal itu peneliti belum yakin tentang konsep mana yang relevan secara teoritik, maka obyek pengamatan dan orang-orang yang diwawncarai juga masih belum dibatasi. Data yang terkumpul dari kegiatan pengumpulan data awal inilah kemudian dianalisis dengan pengkodean terbuka.

(b) Penyampelan relasional dan variasional berfokus pada pengungkapan dan pembuktian hubungan-hubungan antara kategori dengan kategori dan kategori dengan sub-subkategorinya. Pada kedua penyampelan ini diupayakan untuk menemukan sebanyak mungkin perbedaan tingkat ukuran di dalam data. Hal pokok yang perlu pada penemuan perbedaan tingkat ukuran tersebut adalah proses dan variasi. Jadi, inti utama penyampelan di sini adalah memilih subyek, lokasi, atau dokumen yang memaksimalkan peluang untuk memperoleh data yang berkaitan dengan variasi ukuran kategori dan data yang bertalian dengan perubahan.
(c) Penyampelan pembeda berkaitan dengan kegiatan pengkodean terpilih. Oleh karena itu tujuan penyampelan pembeda adalah menetapkan subyek yang diduga dapat memberi peluang bagi peneliti untuk membuktikan atau menguji hubungan antarkategori.

Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian GT berlangsung secara bertahap dan dalam rentang waktu yang relatif lama. Proses pengambilan sampel juga berlangsung secara terus menerus ketika kegiatan pengumpulan data. Jumlah sampel bisa terus bertambah sejalan dengan pertambahan jumlah data yang dibutuhkan. Ketentuan umum dalam GT adalah melakukan penyampelan hingga pemenuhan teoritik bagi setiap kategori tercapai. Maksudnya, penyampelan dihentikan apabila; (a) tidak ada lagi data baru yang relevan, (b) penyusunan kategorinya telah terpenuhi; dan (c) hubungan antarkategori sudah ditetapkan dan dibuktikan.
Berdasarkan paparan tentang prinsip penyampelan di atas, jelaslah bahwa pengambilan kesimpulan dalam penelitian GT tidak didasarkan pada generalisasi, melainkan pada spesifikasi. Bertolak dari pola penalaran ini, penelitian GT bermaksud untuk membuat spesifikasi-spesifikasi terhadap (a) kondisi yang menjadi sebab munculnya fenomena, (b) tindakan/interaksi yang merupakan respon terhadap kondisi itu, (c) serta konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari tindakan/i nteraksi itu. Jadi, rumusan teoritik sebagai hasil akhir yang ditemukan dari jenis penelitian ini tidak menjustfikasi keberlakuannya untuk semua populasi, seperti dalam penelitian kuantitatif, melainkan hanya untuk situasi atau kondisi tersebut.

3. Analisis Data Perbandingan Konstan
Dalam penelitian GT, peneliti terlibat dalam roses pengumpulan data, pengelompokan data ke dalam kategori-kategori, pengumpulan data tambahan, dan pembandingan informasi yang baru itu dengan kategori-kategori yang muncul. Proses pengembangan kategori-kategori informasi yang berlangsung secara perlahan-lahan ini dinamai prosedur perbandingan konstan (constant comparative procedure). Perbandingan konstan ini merupakan prosedur analisis data induktif yang digunakan untuk memunculkan dan menghubungkan kategori-kategori dengan cara membandingkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, satu peristiwa dengan satu kategori, dan satu kategori dengan kategori lainnya.
Dalam tahap pelaksanaan (Dick, 2005) menggambarkan analisis data perbandingan konstan, dalam langkah-langkah berikut. Pada wawancara pertama, peneliti hanya bertanya pada diri sendiri: “Apa yang sedang berlangsung?”, “Situasi apakah ini?”, “Bagaimana partisipan ini menangani situasi tersebut? “, “Lalu, kategori-kategori apa yang terungkap melalui pernyataan-pernyataan ini?” Setelah itu, peneliti mengodekan hasil-hasil wawancara pertama dan kedua ke dalam kategori-kategori, seluruh kategori (termasuk yang diperoleh dari sumber data lainnya) dibandingkan satu dengan yang lain. Setelah itu, seluruh kategori dihubungkan dengan teori yang muncul dipikiran penulis selama melakukan perbandingan. Secara singkat, analisis data perbandingan konstan adalah ”... initially comparing data set to data set; later comparing data set to theory.” Ilustrasi prosedur analisis data perbandingan konstan dapat dilihat pada gambar berikut.

























4. Kategori Inti
Dari seluruh kategori utama yang diperoleh dari data, peneliti memilih satu kategori sebagai inti fenomena dalam rangka merumuskan teori. Setelah mengidentifikasi beberapa kategori (misalnya, 8 hingga 10—tergantung pada besarnya database), peneliti memilih satu kategori inti sebagai basis penulisan teori (lihat gambar 2 sebagai visualisasi proses ini). Berikut ini adalah enam kriteria untuk menentukan kategori inti (Strauss and Corbin, dalam Creswell, 2008: 444).

(a) Kategori tersebut harus merupakan sentral, dalam artian kategori-kategori utama lainnya dapat dihbungkan padanya.
(b) Kategori tersebut sering muncul dalam data, dengan pengertian bahwa dalam semua kasus terdapat indikator-indikator yang merujuk pada kategori inti tersebut.
(c) Penjelasan-penjelasan yang menghubungkan kategori-kategori berfifat logis, konsisten dan tidak dipaksakan.
(d) Istilah atau frasa yang digunakan untuk menjelaskan kategori inti harus abstrak.
(e) Seiring dengan penyempurnaan konsep, teori berkembang dalam aspek kedalaman dan kemampuan menjelaskan.
(f) Meskipun kondisi bervariasi, kategori inti masih mampu menjelaskan seara akurat.

Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa memilih kategori inti terlalu awal adalah sangat riskan. Akan tetapi, bila terlihat bahwa salah satu kategori mucul dengan frekuensi tinggi dan terhubung dengan jelas pada kategori-kategori lain, kategori itu dapat dipilih sebagai kategori inti.

5. Perumusan Teori
Dalam penelitian GT, yang dimaksud dengan teori adalah penjelasan atau pemahaman yang abstrak tentang suatu proses mengenai sebuah topik substantif yang didasarkan pada data. Teori ini disusun oleh peneliti sewaktu mengidentifikasi kategori inti dan kategori-kategori proses yang menjelaskannya. Karena teori ini dilandaskan pada fenomena yang spesifik, teori ini tidak dapat diaplikasikan digeneralisasikan secara meluas pada fenomena lain. Oleh karena itu, Charmaz (dalam Creswell, 2008: 446) mengatakan teori ini berfifat “middle range”, ditarik dari beberapa individual atau sumber data dan memberi penjelasan yang akurat hanya pada sebuah topik yang substantif.

6. Penulisan Memo
Dalam penelitian GT, memo merupakan catatan-catatan yang dibuat peneliti untuk mengelaborasi ide-ide yang berhubungan dengan data dan kategori-kategori yang dikodekan. Dengan kata lain, memo merupakan catatan yang dibuat peneliti bagi dirinya sendiri dalam rangka menyusun hipotesis tentang sebuah kategori, kususnya tentang hubungan-hubungan antara kategori-kategori yang ditemukan. Menurut Dick (2005), penulisan memo harus harus diberikan prioritas utama karena ide tentang hubungan-hubungan antara kategori-kategori bisa muncul kapan saja dan peneliti harus segera mencatatnya. Dalam penelitiannya, Dick biasa menggunakan memo dengan sistem kartu-kartu berukuran 125 mm x 75 mm yang tersedia dikantongnya kapan saja dia perlu membuat memo. Kartu-kartu memo itu dibuat dengan format seperti pada gambar 2.

Gambar 2: Memo Grounded Theory



Tahapan Pelaksanaan Penelitan GT
Penelitian GT diawali dengan pemusatan perhatian pada suatu wilayah kajian dan diikuti oleh pengumpulan data dari berbagai sumber dengan menggunakan berbagai teknik, khususnya wawancara dan obserrvasi lapangan (field observation). Setelah terhimpun, data-data tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik 'coding' dan prosedur penyampelan teoritis. Tahap berikutnya adalah menyusun teori (yang menjelaskan fenomena yang diteliti) dengan menggunakan teknik interpretasi. Pada tahap akhir, hasil penelitian disusun secara sistematis. Selaras dengan itu, Creswell (2008: 432) menjelaskan GT dilakukan melalui sebuah prosedur penjaringan data yang sistematis, pengidentifikasian kategori-kategori (tema-tema), penghubungan kategori-kategori tersebut, dan pembentukan teori yang menjelaskan proses tersebut. Dengan demikian teori-teori yang dihasilkan merupakan teori ‘proses’ yang menjelaskan fenomena (tahapan-tahapan proses, tindakan, atau interaksi yang terjadi di kancah penelitian selama penelitian terjadi).
Gambaran di atas hanyalah gambaran prosedur secara umum, sedangkan prosedur yang spesifik sulit digambarkan mengingat bahwa penelitian GT diaplikasikan dalam berbagai disiplin ilmu. Selain itu, terdapat paling tidak tiga desain yang lazim digunakan cukup beragam, dengan disain yang teratur (sistematik dan emerging) maupun fleksibel (konstruktivis). Prosedur yang diuraikan di bawah ini merupakan tahapan desain sistematis, mengingat langkah-langkahnya yang mudah diidentifikasi.

1. Perumusan Masalah Penelitian
Sebagai penelitian berparadigma kualitatif, GT mengasumsikan bahwa di dalam kehidupan sosial selalu ditemukan regulasi-regulasi yang relatif sudah terpola. Pola-pola regulasi yang ditemukan melalui penelitian itulah yang dirumuskan menjadi teori. Asumsi ini dipertegas dalam GT, dengan menyatakan bahwa; (a) semua konsep yang berhubungan dengan fenomena belum dapat diidentifikasi; dan (b) hubungan antarkonsep belum terpahami atau belum tersusun secara konseptual. Oleh sebab itu, tidak mungkin bagi seorang peneliti untuk mengajukan masalah yang sangat spesifik–seperti yang dituntut dalam metode kuantitatif, baik variabel maupun tipe hubungan antarvariabelnya. Substansi rumusan masalah dalam pendekatan GT masih bersifat umum, yaitu dalam bentuk pertanyaan yang masih memberi kelonggaran dan kebebasan untuk menggali fenomena secara luas, dan belum sampai menegaskan mana saja variabel yang berhubungan dengan ruang lingkup masalah dan mana yang tidak. Demikian pula tipe hubungan antarvariabelnya belum perlu dieksplisitkan dalam rumusan masalah yang dibuat.
Bertolak dari dasar asumsi dan kemungkinan yang diutarakan di atas, rumusan masalah dalam GT disusun secara bertahap. Pada tahap awal–sebelum pengumpulan data, dikemukan rumusan masalah yang bersifat luas (tetapi tidak terlalu terbuka), yang kemudian nanti–setelah data yang bersifat umum dikumpulkan—rumusan masalahnya semakin dipersempit dan lebih difokuskan sesuai dengan sifat data yang dikumpulkan. Intinya adalah, bahwa rumusan masalah dalam GT disusun lebih dari satu kali. Rumusan masalah yang diajukan pada tahap pertama dimaksudkan sebagai panduan dalam mengumpul data, sedangkan rumusan masalah yang diajukan pada tahap berikutnya dimaksudkan sebagai panduan untuk menyusun teori. Perumusan masalah yang disebut terakhir ini inheren dengan perumusan hipotesis penelitian.
Seperti lazimnya pada setiap penelitian, rumusan masalah yang disusun pada tahap awal adalah yang memiliki substansi yang jelas serta diformulasikan dalam bentuk pertanyaan. Ciri rumusan masalah yang disarankan dalam GT adalah; (a) berorientasi pada pengidentifikasian fenomena yang diteliti; (b) mengungkap secara tegas tentang obyek (formal dan material) yang akan diteliti, serta (c) berorientasi pada proses dan tindakan. Contoh rumusan masalah awal pada GT; "Bagaimanakah novel detektif Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia?" Pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah ini bermaksud untuk; (a) mengenali secara tepat dan mendalam proses penerjemahan sebuah novel detektif Inggris ke dalam bahasa Indonesia, (b) obyek formal penelitian adalah penterjemah yang sedang menerjemahkan sebuah novel detektif Inggris ke dalam bahasa Indonesia; sedangkan obyek materialnya adalah metode yang dilakukan oleh penterjemah itu dalam menyelesaikan penerjemahan novel dimaksud, dan (c) orientasi utama yang disoroti adalah tahapan dan teknik-teknik penterjemahan yang dipilih.
Sebagai sebuah penelitian kualitatif, penelitian GT tidak bermaksud untuk menguji teori, dan bahkan tidak bertolak dari variabel-variabel yang direduksi dari suatu teori. Sungguh tidak relevan jika penelitian dengan GT dimulai dengan teori atau variabel yang telah ada, karena akan menghambat pengembangan rumusan teori baru. Oleh sebab itu, penelitian GT tidak perlu terlalu terpangaruh oleh literatur karena akan menutupi kreativitas dalam mengumpul, memahami dan menganalisis data. Inilah yang dimaksudkan dalam pendekatan GT, bahwa sesungguhnya peneliti belum memiliki pengetahuan tentang obyek yang diteliti, termasuk jenis data dan kategori-kategori yang mungkin ditemukan.
Dalam pendekatan GT, teori yang sudah ada harus diletakkan sesuai dengan maksud penelitian yang dikerjakan, yaitu untuk menemukan teori dari dasar. Namun, jika peneliti menghadapi kesulitan dalam hal konsep ketika merumuskan masalah, membangun kerangka berpikir, dan menyusun bahan wawancara, maka konsep-konsep yang digunakan oleh teori terdahulu dapat dipinjam untuk sementara sampai ditemukan konsep yang sebenarnya dari kancah.
Terdapat lima kemungkinan perlakuan peneliti terhadap teori yang sudah ada. Pertama, jika penelitian dengan GT menemukan teori yang memiliki hubungan dengan teori yang sudah dikenal, maka temuan baru itu merupakan sumbangan baru untuk memperluas teori yang sudah ada. Demikian pula, jika ternyata teori yang ditemukan identik dengan teori yang sudah ada, maka teori yang ada dapat dijadikan sebagai pengabsahan dari temuan baru itu. Kedua, jika peneliti sudah menemukan kategori-kategori dari data yang dikumpulkan, maka ia perlu memeriksa apakah sistem kategori serupa telah ada sebelumnya. Jika ya, maka peneliti perlu memahami tentang apa saja yang dikatakan oleh peneliti lain tentang kategori tersebut, tetapi bukan untuk mengikutinya. Penelitian yang bermaksud memperluas teori. Ketiga, jika penelitian bermaksud untuk memperluas teori yang telah ada, maka penelitian dapat dimulai dari teori tersebut dengan merujuk kerangka umum teori itu. Dengan kata lain, kerangka teoritik yang sudah ada bisa digunakan untuk menginterpretasi dan mendekati data. Namun demikian, penelitian yang sekarang harus dikembangkan secara tersendiri dan terlepas dari teori sebelumnya. Dengan demikian, penelitian dapat dengan bebas memilih data yang dikumpulkan, sehingga memungkinkan teori awalnya dapat diubah, ditambah, atau dimodifikasi. Keempat, jika penelitian sekarang bertolak dari teori yang sudah ada, maka teori tersebut dapat dimanfaatkan untuk menyusun sejumlah pertanyaan atau menjadi pedoman dalam pengamatan /wawancara untuk mengumpul data awal. Kelima, jika temuan penelitian sekarang berbeda dari teori yang sudah ada, maka peneliti dapat menjelaskan bagaimana dan mengapa temuannya berbeda dengan teori yang ada.



2. Penjaringan Data
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, data utama dalam penelitian GT digali dari fenomena atau perilaku yang sedang berlangsung (life history) untuk melihat prosesnya serta ditujukan untuk menangkap hal-hal yang bersifat kausalitas. Sampel penelitian tidak didasarkan pada jumlah populasi, melainkan pada keterwakilan konsep dalam beragam bentuknya. Teknik yang digunakan adalah penyampelan teoritik, atau penyampelan yang dilakukan dengan cara memilih data-data atau konsep-konsep yang terbukti berhubungan dengan dan mendukung secara teoritik teori yang sedang disusun. Tujuannya adalah mengambil sampel peristiwa/fenomena yang menunjukkan kategori, sifat, dan ukuran yang secara langsung menjawab masalah penelitian.

3. Analisis Data
Pada dasarnya, kegiatan penjaringan dan analisis data dalam GT adalah proses yang saling berkaitan erat, dan harus dilakukan secara bergantian (siklus), bahkan simultan. Karena itu kegiatan analisis telah dikerjakan pada saat pengumpulan data sedang berlangsung.
Kegiatan analisis dalam penelitian ini dilakukan dalam bentuk pengodean (coding), yakni proses penguraian data, pengonsepan, dan penyusunan kembali dengan cara baru. Tujuan pengkodean dalam penelitian GT adalah untuk; (a) menyusun teori, (b) memberikan ketepatan proses penelitian, (c) membantu peneliti mengatasi bias dan asumsi yang keliru, dan (d) memberikan landasan, memberikan kepadatan makna, dan mengembangkan kepekaan untuk menghasilkan teori.
Terdapat dua prosedur analisis dasar dalam proses pengodean, yaitu; (a) pembuatan perbandingan secara terus-menerus (the constant comparative methode of analysis); dan (b) pengajuan pertanyaan. Dalam konteks penelitian GT, hal-hal yang diperbandingkan itu cukup beragam, yang intinya berada pada sekitar; (i) relevansi fenomena atau data yang ditemukan dengan permasalahan pokok penelitian, dan (ii) posisi dari setiap fenomena dilihat dari sifat-sifat atau ukurannya dalam suatu tingkatan garis kontinum. Analisis data itu sendiri, seperti telah dijelaskan sebelumnya, dilaksaakan dalam tiga langkah: pengodean terbuka (open coding), pengodean poros (axial coding), dan pengodean selektif (selective coding). Setelah menganalisis data, peneliti menyusun suatu paradigma logis atau gambaran visual dari teori yang diturunkan.

Tiga Tahap Analisis Data
(a) Pada tahap pertama, pengodean terbuka (open coding), peneliti membentuk kategori-kategori awal informasi tentang fenomena yang diteliti dengan memilah-milah data (diperoleh dari wawancara, observasi, maupun catatan-catatan dan memo) ke dalam jenis-jenis yang relevan. Jika fenomena yang diteliti adalah proses penterjemahan novel-novel klasik di sebuah penerbitan, misalnya, informasi yang diperoleh melalui pengamatan tentang proses pemberian 'job' oleh penerbit kepada sekelompok penterjemah dapat dikelompokkan kepada tahapan-tahapan pemberian kerja, pembuatan perjanjian kerja, sistem pembayaran upah, dan hal lain yang berhubungan dengan proses tersebut. Sedangkan iformasi yang diperoleh melalui wawancara terhadap para penterjemah dapat dipilah-pilah ke dalam kelompok pengalaman, keahlian, latar-belakang pendidikan, usia, dan lain-lain. Kategori-kategori yang telah ada bisa saja berkembang sesuai dengan penambahan data yang diperoleh, dan pada saat yang sama, sebagian atau seluruh kategori akan diperkaya dengan properties (sub-subkategori), yaitu data yang berfungsi sebagai detil pendukung kategori yang ada.
(b) Di tahap kedua, pengodean poros (axial coding), peneliti memilih salah satu dari kategori yang ada dan memposisikannya sebagai inti fenomena yang sedang diteliti. Seluruh kategori lainnya dihubungkan pada inti fenomena ini berdasarkan korelasi apa adanya, seperti faktor-faktor penyebab (faktor-faktor yang memengaruhi inti), strategi (tindakan yang diambil sebagai respon terhadap inti), kondisi yang memengaruhi dan kontekstual (faktor-faktor situasional umum atau khusus yang memengaruhi strategi, dan konsekuensi (dampak dari penggunaan strategi). Tahapan ini melibatkan pembuatan sebuah diagram yang disebut pengkodean paradigma (coding paradigm), yang menggambarkan kesalingterkaitan antara penyebab, strategi, kondisi yang memengaruhi dan kontekstual, dan konsekuensi. Sebagai ilustrasi untuk proses ini, lihat gambar 1 berikut.





(c) Di tahap ketiga, pengodean selektif (selective coding), peneliti menulis sebuah teori dari kesalingterkaitan seluruh kategori dalam tahap axial coding. Pada aras dasar, teori ini merupakan penjelasan abstrak atas proses yang diteliti Jadi, pengodean selektif merupakan proses penyatuan dan penyempurnaan teori melalui tahapan penulisan alur cerita yang membuat seluruh kategori saling terkait dan memilih melaui memo pribadi tentang ide-ide teoritis. Di sepanjang alur cerita, peneliti bisa saja mengamati bagaimana faktor tertentu memengaruhi fenomena yang membuat digunakannya strategi tertentu dengan dampak tertentu.

Dilihat dari jumlah aktivitas pengodean yang dilakukan, terlihat adanya pengurangan dari tahap pengodean terbuka ke tahap penggolongan kategori-kategori, dan demikian halnya dari tahap penggolongan kategori-kategori ke tahap pengodean poros. Aktivitas paling minimal terdapat pada tahap penyusunan teori dari kategori-kategori yang sudah dijenuhkan.



4. Penyusunan Teori
Seperti dijelaskan di atas, teori dalam GT disusun pada saat melaksanakan pengodean selektif (selective coding). Proses ini mencakup analisis atas kesalingterkaitan seluruh kategori yang ditemukan. Perumusan teori juga bisa mencakup penyempurnaan paradigma yang terdapat pada axial coding dan menyajikannya sebagai sebuah modelatau teori bagi proses yang diteliti. Teori bisa disajikan sebagai proposisi-proposisi atau sub-sub proposisi yang dapat digunakan sebagai ide-ide yang dapat diuji pada penelitian lanjutan. Teori juga bisa dituliskan dalambentuk narasi yang menggambarkan kesalingterkaitan seluruh kategori (Creswell, 2008: 450).

5. Validasi Teori
Dalam GT, validasi teori merupakan bagian aktif dari proses penelitian. Sebagai contoh, sewaktu melakukan perbandingan konstan dalam tahap pengodean terbuka, peneliti melakukan pemeriksaan silang keabsahan hubungan antara data dan kategori-kategori yang muncul melalui proses triangulasi. Proses pemeriksaan data seperti itu juga dilakukan pada tahapan pengodean poros. Setelah teori dirumuskan, peneliti memvalidasi proses penyusunannya dengan membandingkannya dengan proses–proses sejenis yang ada di dalamkepustakaan. Bahkan penilai luar, seperti partisipan, juga bisa diminta untuk memeriksa keabsahan teori maupun validitas dan kredibilitas data (Creswell, 2008: 450).

6. Penulisan Laporan Penelitian
Sturuktur laporan penelitian GT sangat tergantung pada desain yang digunakan. Jika desain yang digunakan adalah pendekatan sistematik, laporan penelitian relatif mirip dengan struktur laporan penelitian kuantitatif, yang mencakup bagian-bagian perumusan masalah, metode penelitian, analisis dan diskusi, dan hasil penelitian. Jika desain yang digunakan adalah pendekatan ’emerging’ atau ’konstruktivis’, struktur laporan penelitian bersifat fleksibel (Creswell, 2008: 450).

Kesimpulan
Desain penelitian GT merupakan seperangkat prosedur yang digunakan untuk menyusun sebuah teori yang menjelaskan sebuah proses mengenai sebuah topik substantif. Penelitian GT cocok digunakan dalam rangka menjelaskan fenomena, proses atau merumuskan teori yang umum tentang sebuah fenomena yang tidak bisa dijelaskan dengan teori yang ada. Pada awalnya, penelitian GT diterapkan dan dikembangkan di bidang sosiologi. Namun saat ini GT juga banyak digunakan di berbagai disiplin ilmu, seperti pendidikan, keperawatan, ilmu politik, dan psikologi.
Meskipun penelitian GT terdiri dari tiga bentuk desain—sistematik, ’emerging’ dan ’konstruktivis’—secara umum, metode ini memiliki enam karakteristik kunci. Pertama, fokus penelitian diarahkan pada proses yang berhubungan dengan sebuah topik substantif. Kedua, penjaringan data (yang dilakukan secara simultan denagn analisis data) dilakukan dengan menggunakan penyampelan teoritis. Ketiga, analisis data dilakukan dalam tiga tahap—pengodean terbuka, pengodean poros, dan pengodean selektif—sambil melaksanakan perbandingan konstan dan membuat pertanyaan tentang data-data yang diperoleh. Keempat, sewaktu menganalisis data untuk memunculkan kategori-kategori, sebuah kategori inti diidentifikasi. Keenam, kategori inti yang diidentifikasi kemudian dikembangkan dan dirumuskan menjadi teori. Selama melakukan penelitian, peneliti membuat catatan-catatan (memo) untuk mengelaborasi ide-ide yang berhubungan dengan data dan kategori-kategori yang dikodekan.
Prosedur pelaksanaan penelitian GT yang komprehensif sulit dilakukan mengingat desain GT yang cukup beragam. Meskipun demikian, sebagai gambaran, langkah-langkah penelitian desain sistematis, dapat diurutkan dalam enam langkah: perumusan masalah, penjaringan data, analisis data, penyusunan teori, validasi teori, dan penulisan laporan.


Daftar Pustaka

Borgatti, Steve. "Introduction to Grounded Theory". Diunduh pada tanggal 18 Oktober 2008 http://www.analytictech.com/mb870/introtoGT.htm
Creswell, John W. 2008. Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qulitative Research. New Jersey: Prentice Hall.
Dick, Bob. 2005. “Grounded theory: a thumbnail sketch”. Diunduh pada tanggal 10 September 2008 dari http://www.scu.edu.au/schools/gcm/ar/arp/grounded.html
Elliott, Naomi and Lazenbatt, Anne. 2005. “How to Recognise a ‘Quality’ Grounded Theory Research Study” A scholarly paper, published in Australian Journal of Advanced Nursing Volume 22 Number 3, 2005
Emzir. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif & Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa.
Glaser, B. & Straus A. 1980. The Discovery of Grounded Theory: Strategies for Qualitative Research. Chicago: Aldine.
Goulding, Christina. 1999. "Grounded Theory: Some Reflections on Paradigm, Procedures, and Misconceptions" A Working Paper Series at Wolverhampton Business School.
Haig, Brian D. 1995. “GT as Scientific Method” in Philosophy of Education Society. Diunduh pada tanggal 12 November 2008 dari http://www.GT as Scientific Method.htm
Introduction to coding terminology qrtips.com/faq/Coding%20Level%20Pyramid.jpg

5 comments:

  1. thanks pak Pardede, membantu tesis saya, nama bapak saya cantumkan juga di daftar referensi tesis saya.

    Dicky

    ReplyDelete
  2. terima kas ih pak pardede....pembahasan ini sangat membantu saya dalam mengerjakan tugas kuliah...

    ReplyDelete
  3. makasih kaka , membantu skali tulisan nya

    ReplyDelete
  4. Terimakasih pak,sangat membantu sekali informasinya dan disusun dengan sangat sistematis

    ReplyDelete
  5. Terimakasih pak,sangat membantu sekali informasinya dan disusun dengan sangat sistematis

    ReplyDelete